Kamis, 09 Maret 2017

SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA MASA LALU DAN MASA SEKARANG



DAFTAR ISI

Daftar Isi........................................................................................................................... i
Bab I       PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A.    Latar Belakang.....................................................................................................  1
B.     Rumusan Masalah................................................................................................. 2
Bab II      PEMBAHASAN............................................................................................. 3
A.    Pendidikan Indonesia Pra Kemerdekaan ............................................................. 6
B.     Pendidikan Indonesia Awal Kemerdekaan........................................................... 11
C.     Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan................................................... 22
D.    2.4   Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini ........................................................... 30
E.     Pendidikan Karakter............................................................................................. 50
Bab III    PENUTUP.......................................................................................................57
          3.1  Kesimpulan......................................................................................................57
          3.2  Saran................................................................................................................58
Daftar Pustaka 
SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA MASA LALU DAN MASA SEKARANG

BAB  I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang

Pendidikan pada hakekatnya menjadi pedoman maupun pegangan bagi manusia sebagai generasi penerus bangsa Pada dasarnya pendidikan tidak pernah selesai sampai kapanpun, sepanjang masih ada kehidupan  di dunia ini.. Pendidikan sudah sepatutnya menentukan masa depan suatu negara untuk menciptakan serta mampu memperbaiki dan memajukan kehidupan bangsa ke arah yang lebih baik karena manusia memiliki potensi kreatif dan inovatif dalam segala bidang kehidupan.
Pendidikan menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia berbangsa dan bernegara. Visi pendidikan harus diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang memiliki sasaran jelas. Pada awal kemerdekaan, pembelajaran di sekolah-sekolah lebih ditekankan pada semangat nasionalisme dan membela tanah air. Visi pendidikan diharapkan mampu menentukan tujuan pendidikan yang jelas. Masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem pendidikan yang kita kenal sekarang adalah hasil perkembanagan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita. Bagi bangsa indonesia krisis multidimensi membawa hikmah dan pelajaran yang luar biasa besarnya, yang pasti bangsa ini dapat menatap dan membangun masa depan dengan semangat yang lebih optimis.
Pada masa yang telah lewat, dunia pendidikan terus berubah. Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus menerus berubah, apalagi di dalam dunia terbuka, yaitu di dalam dunia modern dalam era globalisasi. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah  memenuhi standar. Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan  akhirnya membawa kita dalam pengungkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu, kemungkinan adanya pendidikan  terkekang oleh standar kompetensi saja sehingga kehilangan makna tujuan pendidikan tersebut. Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B.        Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pendidikan  di indonesia pra kemerdekaan?      
2.      Bagaimanakah pendidikan di Indonesia setelah kemerdekaan?
3.      Bagiamanakah pendidikan di indonesia pada saat ini?
4.      Bagamana masalah pendidikan karakter di Indonesi
C.        Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pendidikan  di indonesia pra kemerdekaan
2.      Untuk mengetahui pendidikan di Indonesia setelah kemerdekaan
3.      Untuk mengetahui pendidikan di Indonesia pada saat ini
BAB II
PEMBAHASAN
A.        Pendidikan Pra Kemerdekaan
Masa pra kemerdekaan begitu banyak persoalan yang menerpa dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada saat itu masih dipengaruhi oleh kolonialisme, alhasil bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah atau setelah pasca kemerdekaan adalah untuk kepentingan para penguasa pada saat itu. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan di zaman penjajah adalah pendidikan yang menjadikan penduduk Indonesia bertekuk lutut di bawah ketiak kolonialis. Bangsa ini tidak diberikan ruang yang lebar guna membaca dan mengamati banyak realitas pahit kemiskinan yang sedemikian membumi di bumi pertiwi. Dalam pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini bertujuan membutakan bangsa ini terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa yang seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan.
Pendidikan modern di Indonesia dimulai sejak akhir abad ke-18, ketika belanda mengakhiri politik “tanam paksa” menjadi politik etis, sebagai akibat kritik dari kelompok sosialis di negeri Belanda yang mengecam praktik tanam paksa yang menyebabkan kesengsaraan maha dasyat di Hindia Belanda. Pendidikan “ongko loro” diperkenalkan bukan saja sebagai elaborasi terhadap desakan kaum sosialis di negeri Belanda, namun juga didasari kebutuhan pemerintah pendudukan untuk mendapatkan pegawai negeri jajaran rendah di dalam administrasi pendudukannya. Pendidikan yang digerakkan oleh penjajah belanda kamudian ditiru kembangkan oleh kaum nasionalis Indonesia
Sejarah pendidikan di Indonesia modern dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, “Pagoeyoeban Pasoendan” di tahun 1913, dan Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan menghasilkan kemerdekaan RI tahun 1945. Soekarno, presiden pertama Indonesia membawa semangat “nation and character building” dalam pendidikan Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak-anak dicari untuk disekolahkan tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas guru, didirikan pendidikan guru yang  diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun, SGA/KPG, kursus B-1 dan kursus B-2.
Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang sedemikian mungkin mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah pula, bukan lagi untuk memanusiakan manusia sebagaimana dengan konsep pendidikan yang ideal itu sendiri. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial. Selain itu, agar penduduk pribumi menjadi pengikut negara yang patuh pada penjajah, bodoh, dan mudah ditundukkan serta dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak menuntut kemerdekaan bangsanya.
1.         Pendidikan Hindu-Budha
Ajaran hindu dan Budha memberikan corak pada praktek pendidikan di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha di Kalimantan (Kutai), Pulau Jawa (Tarumanegara hingga Majapahit), Bali dan Sumatera (Sriwijaya).
Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di Nusantara, sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di biara-biara atau padepokan.Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengatahuan yang meliputi sastra, bahasa, filsafat, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Kerajaan-kerajaan Hindu di tanah Jawa banyak melahirkan para empu dan pujangga besar yang melahirkan karya-karya seni yang bermutu tinggi. Pada masa itu, pendidikan mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi dikendalikan oleh para pemuka agama. Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin pudar dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pada awal abad ke-16, dan pendidikan dengan corak Islam dalam kerajaan-kerajaan Islam datang menggantikannya.
2.         Pendidikan Islam
Pendidikan berlandaskan ajaran Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad ke-13. Di pulau Jawa, pusat penyebaran Islam membentang mulai Banten, Cirebon, Demak hingga ke Gresik. Lama kelamaan, bersamaan dengan pudarnya kerajaan-kerajaan Hindu, ajaran Islam makin berkembang dengan baik di pesisir maupun di pedalaman pulau-pulau Jawa dan Sumatera.
Di pulau Jawa dan Sumatera yang penduduknya lebih dahulu mengadakan kontak dengan pendatang dari luar Indonesia (terutama dari Cina, Indiadan Indocina), didapati pendidikan agama Islam di masa pra kolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan di pesantren, dan pendidikan di madrasah. Praktek pendidikan di langgar dan di pesantren berbeda dengan cara mengajar di sekolah-sekolah modern yang menggunakan sistem yang formal dan berjenjang. Pendidikan di Indonesia baru mengenal sistem berjenjang yang formal sejak masuknya pengaruh Belanda. Namun hingga datangnya kolonial belanda dan bahkan hingga sekarang, ketiga corak pendidikan Islam yaitu pendidikan di langgar, pesantren, dan madrasah tetap bertahan.



3.         Pendidikan Katolik dan Kristen-Protestan
Pendidikan Katolik berkembang mulai abad ke-16 melalui orang-orang Portugis yang menguasai Malaka. Misi mereka yang dikenal dengan misi suci (mission sacre) dilaksanakan bersama-sama dengan misi pencarian rempah-rempah. Segera setelah mereka menduduki suatu daerah atau pulau, usaha pertama yang dilakukannya adalah menjadikan penduduk setempatsebagai pemeluk Katolik-Roma. Kekuasaan portugis tidak berlangsung lama, hanya sekitar setengah abad, karena diusir oleh Spanyol. Kemudian Spanyol menyebarkan agama Kristen-Protestan dan mengembangkan sistem pendidikannya sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
4.         Pendidikan pada Zaman VOC
Sebagaimana bangsa Portugis sebelumnya, kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 mula-mula untuk tujuan dagang dengan mencari rempah-rempahdengan mendirikan VOC. Misi dagang tersebut kemudian diikuti oleh misi penyebaran agama yang terutama dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dilengkapi asrama untuk para siswa. Di sana diajarkan agama Kristen-Protestan dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, dan sebagian menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-16, VOC mendirikan sekolah di pulau-pulau Ambon, Banda, Lontar, dan Sangihe-Talaud. Pada periode berikutnya, didirikan pula sekolah-sekolah dengan jenis dan tujuan beragam. Pendirian sekolah-sekolah tersebut terutama diarahkan untuk kepentingan untuk mendukung misi VOC di Nusantara.
5.         Pendidikan Pada Zaman Kolonial Belanda
Pudarnya VOC pada akhir abad ke-18 menandai masa datangnya zaman kolonial Belanda. Tugas untuk mengatur pemerintahan dan masyarakat yang sebelumnya ditangani oleh Kompeni (institusi dagang) kemuadian diambil alih oleh Pemerintah Belanda yang menjadikan Hindia-Belanda sebagai tanah jajahan.
Sistem pendidikan diubah dengan menarik garis pemisah antara sekolah Eropa dan sekolah Bumiputera. Sekolah Eropa diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak orang Eropa di Indonesia. Sedangkan sekolah Bumiputera yang tingkatan dan prestisenya lebih rendah diperuntukkan bagi anak-anak bumiputera yang terpilih. Ada lagi sekolah Cina bagi anak-anak Cina. Mulai akhir abad ke-19 dan hingga dasawarsa awal abad ke-20 lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sangt beragam meliputi sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah raja, sekolah pertukangan, sekolah kejurauan, sekolah-sekolah khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi, sekolah dokter, perguruan tinggi hukum, dan perguruan tinggi teknik.
6.         Pendidikan Pada Masa Pendudukan Jepang
Meskipun singkat, berlangsung pada tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang memberikan corak yang berarti pada pendidikan di Indonesia. Tidak lama setelah berkuasa, jepang segera menghapus sistem pendidikan warisan Belanda yang didasarkan atas penggolongan menurut bangsa dan status sosial. Tingkat sekolah terendah adalah Sekolah Rakyat (SR)yang disebut dalam bahasa Jepang Kokumin Gakko, yang terbuka untuk semua golongan masyarakat tanpa membedakan status sosial dan asal-usulnya. Kelanjutannya adlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama tiga tahun, kemuadian Sekolah Menengah Tinggi (SMT) selama tiga tahun. Sekolah kejuruan juga dikembangkan. Sekolah Hukum dan MOSVIA yang didrikan oleh Belanda dihapuskan. Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Sekolah Tinggi kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Perubahan lain yang sangat berarti di kemudian hari ialah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua adalah bahasa Jepang. Sementara itu, bahasa Belanda dilarang sama sekali untuk digunakan baik di sekolah-sekolah maupun di kantor-kantor, Sejak saat itu, bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi ilmiah.
Tujuan utama pendidikan pada masa pendudukan Jepang diarahkan untuk mendukung pendudukan jepang dengan menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-cuma yang dikenal dengan romusha. Di sekolah, para siswa mengikuti latihan fisik, baris berbaris meniru tentara Dai Nippon, latihan kemiliteran disertai indoktrinasi yang intinya kesetiaan penuh pada kaisar Jepang. Pemuda-pemuda yang menapak dewasa dijadikan romusha dan sebagian direkrut untuk menjadi tentara.
B.        Pendidikan Indonesia setelah awal Kemerdekaan
            Secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan mendekati sistem pendidikan di negara-negara  maju. Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950 bangsa Indonesia merasakan berbagai kesulitan baik di bidang sosial ekonomi, politik maupun kebudayaan, termasuk pendidikan. Dari sejumlah anak-anak usia sekolah hanya beberapa persen saja yang dapat menikmati sekolah, sehingga sisanya 90% penduduk Indonesia masih buta huruf.
            Kurikulum pasca kemerdekaan kemerdekaan saat itu diberi nama Leer Plan dalam bahasa Belanda artinya Rencana Pelajaran, lebih terkenal ketimbang kurikulum1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sitem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang. Sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rencana Pelajaran 1947 dikatakan sebagai pengganti sitem pendidikan kolonial Belanda. Karena saat itu bangsa Indonesia masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan dan bertujuan untuk pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi.
            Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani. Tata susunan persekolahan sesudah Indonesia merdeka yang berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiga tingkat pendidikan seperti pada zaman Jepang tetap diteruskan sedangkan rencana pembelajaran pada umumnya sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk sekolah. Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke dalam bahsa Indonesia yang sudah dirintis sejak jaman Jepang.
            Adapun susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah sebagai berikut:
1)      Pendidikan Rendah
            Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut dengan Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946 NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR dimana tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah dan 17 jam berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia.
            Ada dua jenis pendidikan Umum yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah Tinggi (SMT).
Ø  Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP mempergunakan rencana pelajaran yang sama pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan menteri PPK thun 1946 maka diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II sehingga terdapat kelas II A,IIB, IIIA dan IIIB. Dibagian A diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi. Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu Pasti.
Ø  Sekolah Menengah Tinggi (SMT): Kementerian PPK hanya mengurus langsung SMT yang ada di jawa terutama yang berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung, semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada di bawah pengawasan pemerintah daerah berhubung sulitnya perhubungan dengn pusat. SMT merupakan pendidikan tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan yang diberikan adalah rencana pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada waktu itu msaih harus menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih belum stabil.
            Demikian rencana pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi kebutuhan nasional, (2) bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, (3) mutunya setingkat dengan SMT menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan oleh masing-masing sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun 1947 barulah berlaku ujian negara tersebut.
2)      Pendidikan Guru
            Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru yaitu:
1)      Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan tujuan pendidikan guru untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima adalah tamatan SR yang akan lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran yang diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan keguruan baru diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima tamatan sekolah SMP,SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya sejumlah guru dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat kekuarangan guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua yaitu, perta ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.
2)      Sekolah Guru C (SGC) berhubung kebutuhan guru SR yang mendesak maka terasa perlunya pembukaan sekolah guru yang dalam tempo singkat dapat menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan sekolah guru dua tahun setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena dirasakan kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan diantaranya dijadikan SGB.
3)      Sekolah guru A (SGA) karena adanya anggapan bahwa pendidikan guru 4 tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk taraf pendidikan guru, maka dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun sesudah SMP. Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan kelas III SGB. Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata pelajaran yang diberikan di SGB hanya penyelenggaraannya lebih luas dan mendalam.
3)         Pedidikan Kejuruan
Yang dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan pendidikan kewanitaan:
1)      Pendidikan ekonomi: pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka sekolah dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi atau pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah dagang tersebut dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang.
2)      Pendidikan Kewanitaan: sesudah kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP) yang lama pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP.
4)                  Pendidikan Teknik
            Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena disamping pelajarnya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut kadang-kadang juga dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di Solo misalnya, dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan kendali apaadanya. Adapun sekolah-sekolah teknik yang ada pada masa itu ialah:
a.       Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini lamanya satu tahun lamanya dan merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN terdiri atas jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot rumah, las dan batu.
b.      Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang terampil tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua tahun sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan cor.
c.       Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan bangunan. Lama pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan meliputi jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan jalan, bangunan radio, bangunan kapal, percetakan dan pertambangan.
d.      Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat tahun setelah SMP bagian B atau ST dan terdiri atas jurusn-jurusan: bangunnan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang.
e.       Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk memenuhi keperluan guru-guru sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang menghasilkan:
a)      Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam jurusan: bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.
b)      Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung-geung dan mesin.
c)      Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik.
5)                  Pendidikan Tinggi
            Dalam periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi semakin terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan ini berkembang pesat tetapikarena adanya pelaksanaannya di lakukan perjuangan fisik maka perkuliahan kerap kali di sela dengan perjuangan garis depan.
            Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada, beberapa sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah kependudukan) Klaten, Solo dan Yogyakarta. Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati mengalami berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapa dipisahkan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu kekuatan dari seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal kemerdekaan di Jakarta pada waktu merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi kedokteran sebagai kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan Nopember 1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir in di tutup oleh belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat tinggi pendudukan Belanda.
6).        Perintis Perguruan Pertama Kali di Indonesia
Ada empat perguruan yang secara kronologis pertama berdiri di Indonesia. Yaitu, Muhammadiyah, Taman Siswa, Ma’arif, dan INS Kayutanam. Keempatnya dibicarakan disini karena sama-sama merupakan tanggapan bangsa Indonesia terhadap keadaan pada masa penjajahan. Meskipun masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri dengan dasar dan tujuan yang berbeda-beda, namun misi dan sifat pedagogis, nasional, politis, keagamaan, atau kombinasi nasional-pedagogis, nasional-religius, atau nasional-politis. Dari keempat perguruan tersebut, yang masih giat menyelenggarakan pendidikan dengan jangkauan yang luas di Tanah Air adalah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Ma’arif. Sedangkan INS Kayurtanam telah hancur secara fisik pada tahun 1949.
a).        Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir dibawah pengaruh kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda yang dimulai dengaan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Dalam pemikiran keagamaan, saat itu ke Indonesia datang pula gelombang pembaharuan dalam agama islam yang bersumber dari Mesir, Arab dan India. K.H. Achmad Dahlan yang mempelajari pembaharuan-pembaharuan itu mendirikan perkumpulan Muhammadiyah. Misi Muhammadiyah untuk menyebarkan agama, kemudian membuka dan menyelenggarakan pendidikan, baik sebagai sarana untuk menerdaskan bangsa yang dibodohi oleh pemerintah Belanda maupun sebagai sarana menyebarkan syiar islam (Supriyadi, 2006 : 4.3).
Muhammadiyah didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Sekolah Muhammadiyah pertama didirikan tahun 1911, satu tahun sebelum Muhammadiyah berdiri. Dalam perkembangan kemudian, sekolah ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun. Sebagai pendiri, K.H. Achmad Dahlan telah aktif memberikan pendidikan tentang agama dan pengetahuan lainnya kepada penduduk di sekitar kampungnya. Muhammadiyah kemudian juga mendirikan sekolah rakyat tiga tahun yang diberi nama Sekolah Kesultanan (Sultanaatschool), menyusul kemudian HIS Muhammadiyah, sekolah menengah yang dimulai dengan MULO yang diberi subsidi oleh Pemerintah Belanda, juga sebuah Algemene Middel School (AMS) dan Holland Inlandse Kweekschool. Kurikulum sekolah-sekolah Muhammadiyah di masa itu menyeimbangkan muatan pelajaran agama dan umum dengan porsi masing-masing sekitar 50%.
Dasar dari Muhammadiyah adalah pembaharuan di bidang agama yang pada hakikatnya mengikuti gerak hidup zaman dan mengeluarkan golongan Islam dari isolasi sekaligus secara positif bergerak di bidang sosial dan pendidikan.
b).        Taman Siswa
Taman Siswa sejak pendiriannya mempunyai tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini jelas dari pertimbangan Ki Hajar Dewantara, pendirinya, sewaktu berada di pengasingan di Negeri Belanda untuk mendalami masalah pendidikan. Menurut Ki Hajar, rakyat Indonesia harus benar-benar menyadari arti kehidupan berbangsa dan bertanah air melalui pendidikan. Dengan mendirikan Kindertuin atau Taman Kanak-kanak yang di kalangan Taman Siswa disebut Taman Indriya, pada tanggal 3 Juli 1922. Lembaga pendidikan Taman Siswa diberi nama National Onderwijs Instituut Taman siswa dengan Taman Indriya sebagai tingkat terendah.
Pendidikan Taman Siswa selanjutnya mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tidak tanpa batas. Batas itu antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas kebebasan anak adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman Siswa. Prinsip demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan penegrtian sebgaia berikut.
1.         Anak dalam pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan yang terus berjalan, lingkungan anak makin luas dan segala sesuatu yang dijumpainya akan dijadikan miliknya. Hal ini kemudian melahirkan prinsip konsentris, kontinue, dan konvergen yang terkenal dengan istilah “tri-kon”
2.         Musyawarah sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pimpinan.
Ki Hajar Dewantara menganggap perlu ada suatu kewibawaan yang pada suatu ketika mengarah pada musyawarah dan mufakat.
3.                  Dasar demokrasi membawa kewajiban untuk memikul tanggung jawab.
Dasar demokrasi yang mengakui hak anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya telah melahirkan metode “among” dengan semboyan “tut wuri handayani” yang kemudian diadopsi menjadi semboyan pendidikan nasional. dasar demokrasi telah membawa Taman Siswa menjadi tidak kaku dan melahirkan prinsip hidup kekeluargaan yang dikalangan Taman Siswa dipraktekan dengan sungguh-sungguh.
Dengan gambaran di atas, maka Taman Siswa, terutama dibidang pendidikan dan kebudayaan, telah memberikan andil sangat besar terhadap pendidikan nasional. Bahkan Undang-Undang Pendidikan No. 4 tahun 1950 praktis telah mencakup semua prinsip Taman Siswa.
c).        Pendidian Ma’arif
Pendidikan Ma’arif saat ini merupakan bagian dari organisasi Nahdatul Ulama. Cikal Bakal pendidikan Ma’arif mulai berkembang pada tahun 1916 ketika dua Kiyai, K.H. Abdul Wahab hasbullah dan K.H. Mas Mansur, mendirikan kursus debat yan diberi nama Taswirul Afkar. Kursus ini kemudian berkembang dengan dibentuknya Jam’iyah Nahdatul Wathon yang bertujuan memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Mulanya Ma’arif dalam bentuk Madrasah berkembang di Jawa Timur, kemudian menyebar ke daerah-daerah lain dengan dipelopori oleh para ulama NU. Mula-mula corak pendidikannya adalah menyerupai “pesantren yang diformalkan”, dengan hanya memuat pendidikan agama dalam kurikulumnya. Dalam perkembangan kemudian, sebagaimana Muhammadiyah, Ma’arif memasukkan materi umum ke kurikulumnya.
Muktamar II NU di Surabaya pada tahun 1927 memutuskan untuk memberikan perhatian yang penuh pada pengembangan madrasah dengan dana ditanggung oleh umat islam, dan menolak bantuan dari Belanda. Dalam Muktamar NU ke-4 di Semarang, para ulam membentuk bagian khusus dalam tubuh NU yang menangani pendidikan, yang disebut Ma’arif. Sejak saat itu gerak NU dalam mnyelenggarakan pendidikan semi-formal yang coraknya banyak berbeda dengan pesantren yang menjadi basis NU mulai berkembang dan ditangani secara sungguh-sungguh.
            Basis pendidikan Ma’arif pada dasarnya adalah pesantren yang juga merupakan basis utama kegiatan pendidikan NU. Hal inilah antara lain membedakannya dengan Muhammadiyah yang lebih agresif dan sistematis dalam mengembangkan sistem pendidikan sekolahnya dengan menerapkan manajemen modern.
Meskipun perkembangan lembaga pendidikan Ma’arif tidak secepat dan seluas Muhammadiyah, pendidikan ini ikut memberikan andil dalam pendidikan nasional, baik melalui pemikiran-pemikiran para tokohnya maupun melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dimilikinya.
d).        INS Kayutanam
Kayutanam adalah suatu kota kecil dekat Padang Panjang. Di sanalah pada tahun 1926 didirikan Indonesische Nederlandche School (INS), yang kemudian dikenal dengan INS Kayutanam. Pendirinya adalah Muhammad Syafei (1896-1966) bersama Marah Soetan. Sekolah tersebut semula dibawah pembinaan Organisasi Pegawai Kereta Api dan Tambang Ombilin.
Sekolah ini didirikan sebgai tanggapan terhadap pendidikan Belanda yang berlansung saat itu yang oleh Muhammad Syafei dinilai intelektualistik dengan mementingkan kecerdasan dan kurang memperhatikan pemupukan bakat-bakat anak. Melalui INS yang didirikannya ia berusaha agar para siswa tidak menjadi cendekiawan setengah matang yang angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati. Di INS, para siswa dididik untuk bekerja teratur dan produktif agar dapat hidup mandiri. Para siswa mendapatkan mata pelajaran Kerja Tangan atau Keterampilan, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, dan Menggambar untuk mempertajam pengamatan. Olahraga yang mendapatkan tempat khusu di INS diajarkan sebagai wahana untuk membuat anak-anak sehat dan kuat. Kemudian Bahasa diajarkan sebagai alat berfikir secara teratur.
            Falsafah yang mendasari gagasannya adalah “Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya. Masing-masing mesti berguna dan kalau tidak berguna itu disebabkan kita tidak pandai menggunakannnya”. (dikutip dari Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, penerbitan Kementrian Penerangan, hlm.778). INS Kayutanam mengembangkan sistem persekolahannya dengan didasarkan atas “aktivitas” dan bertujuan untuk “melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri”
            INS memupuk semangat nasionalisme di kalangan para siswanya. Hal ini tampak dari tujuan pendidikannya yaitu agar siswa dapat berdiri sendiri dan tidak perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang saat itu dikuasai oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Muhammad Syafe’i menunjukkan sifat sebagai pendidik yang demokratis dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menurut garis masing-masing yang ditentukan oleh bakat dan pembawaannya.
Prinsip tidak mengggantungkan diri pada orang lain juga dianut oleh Muhammad Syafe’i sendiri yang menolak tawaran pemerintah Belanda untuk menerima bantuan. Pengembangan lembaga pendidikannya diusahakan atas dasar prinsip “self-help” (mandiri) dengan mengumpulkan uang melalui pertunjukkan, pameran hasil karya murid-murid, dan penjualan hasil kerja mereka.
            Meskipun gagasan dan praktek pendidikannya bagus, sistem persekolahan yang dikembangkan oleh INS Kayutanam tidak berkembang di luar daerahnya. Semangat nasionalisme dan non-kooperasi dengan Belanda, yang dipupuk oleh INS Kayutanam, memang mampu membangkitkan keengganan untuk bekerja di kantor pemerintahan yang pada waktu itu berarti kantor pemerintahan yang dikendalikan Belanda. Pengorbanan yang diminta adalah bekerja keras tanpa bantuan dari pihak maupun yang mengikat. Hal ini berarti bahwa para pendidik dituntut untuk hidup sederhana dan mungkin dalam serba kekuranga.
INS Kayutanam bertahan hingga masa pendudukan Jepang, dan masa Perang Kemerdekaan (tahun 1949) dan kemudian ditutup. Muhammad Syafe’i sendiri setelah tidak menangani INS, ditunjuk sebagai Kepala Sekolah Guru Bantu (SGB). Dan tutup usia pada tahun 1966.
C.        Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan
Pendidikan dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor penyelenggara urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus sampai 14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para mentri tersebut.
Pada tanggal 1950 Perdana Menteri Republik Indonesia,Drs. Mohammad Hatta, dan Perdana Merdana Republik Indonesia Dr. A.Halim menandatangani suatu piagam persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia yang antara lain menyatakan:
a.         Menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan Indonesia sebagai penjelmaan dari Republik indoonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. Sebelum Perundang-undangan kesatuan maka undang-undang dan peraturan yang ada tetap berlaku, akan tetapi sedapat mungkin diusahakan supaya perundangundangan Republik Indonesia (dahulu) berlaku.
b.         Menyetujui pembentukan panitia yang bertugas menyelenggarakan segala persetujuan untuk menyelesaikan kesukaran-kesukaran di berbagai lapangan dalam waktuu sesingkat-singkatnya.
Untuk melaksanakan piagam persetujuan tersebut, maka dibentuk Panitia Bersama. Atas usul Panitia Bersama tersebut, maka pada tanggal 30 Juni 1950 dikeluarkkan suatu pengumuman bersama mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Pengumuman itu antara lain menyatakan bahwa untuk tahun pengajaran 1950/1951 sistem pengajaran yang berlaku pada Indonesia dahulu dijalankan di seluruh Indonesia denga maksud dalam waktu yang singkat system itu akan ditinjau kkembali. Dangan adanya pengumuman bersama itu, maka penyelenggaraan bersama pendidikan dan pengajaran sejak Agustus 1950 pada hakikatnyaberjalan atas  dasar Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran Republik Indonesia No. 4/1950. UU ini berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dengan  mengesampingkan segala peraturan sebelumya berlaku didaerah-daerah diluar Republik Indonesia yang berbeda dengan UU No. 4/1950.
a.         Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan 
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini dapat di pahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajah yang berlangsung ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.
Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. “Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia yang cukup dan warga negara yang demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”.
Ø  Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di tujukan untuk: meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
Ø  meningkatkan pendidikan jasmani,
Ø  meningkatkan pendidikan watak,
Ø  menberikan perhatian terhafap kesenian,
Ø  menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
Ø  mengurangi pendidikan pikiran.
Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan di adakan perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”.
b.         Sistem Persekolahan
Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa yang dikembangkan pada zaman pendudukan jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama yang berlangsung tiga tahun mempunyai beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (SMP) sebagai sekolah menengah pertama umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah menengah pertama kejuruan; serta sekolah guru B (SGB) dan sekolah guru C (SGC) sebagai sekolah menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung tiga tahun, meliputi sekolah menengah tinggi (SMT) sebagai sekolah menengah umum, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik (ST), sekolah guru kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) dan kursus guru. 
Perkembangan lain yang penting dicata pada era 1945-1969 ialah berdirinya42  Perguruan Tinggi Negara berupa Universitas, insitut dan sekolah tinggi pada umumnya terletak di ibukota propinsi, sehingga kurun waktu tersebut dapat dikatakan sebabgai “era pertumbuhan PTN” .
c.         Perkembangan Jumlah Siswa
Berbeda dengan pada zaman kolonial Belanda yang membedakan kesempatan belajar atas dasar ras dan asal-usul keturunan, pada zaman kemerdekaan kesempatan belajar dibuka untuk semmua orang, baik mellalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 31 ayat   1 UUD 1945 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.Dalam UUD pendidikan  No. 4/1950 dan UU No. 12/1954,pasal 17, disebutkan bahwa, “Tiap-tiap warga negara Republlik Indonesia mempunyai hhak yang sama untuk diterima mejadi murid suatu sekolah jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan  untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu ”.
Ciri yang menonjol diawal kemerdekaan ialah tingginya motivasi belajar para siswa yang usianya sangat beragam, meskipun sarana yang tersedia hanya seadanya. Keadaan ini merupakan hal yang wajar setelah rakyat Indonesia mengalami berbagai pembatasan oleh penjajah. Pada masa itu,para pelajar bukan hanya  belajar di sekolah atau ditempat kursus, melainkanjuga mereka ikut terjun mempertahankan kemerdekaan. Statistik  persekolahan mencatatbahwa sejak tahun 1945 terjadi lonjakan jumlah siswa dan tenaga kependidikan didisemua jenjang pendidikan,hingga berkali-kali lipat dari periode sebelumnya.
Untuk pembelajaran rakyat yang  pada umumnyamasih buta huruf pada masa-masa awal kemerdekaan , pada tanggal 1 Juni 1946dibentuk Bagian pendidikan Masyarakat pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang bertugas:
a)      Memberantas buta huruf
b)      Menyelenggarakan kursus bahasa umum
c)        Mengembangkan perpustakaan rakyat.
Kondisi pendidikan pada PJP 1 : 1969-1993
Pembangunan jangka panjang pertama, meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai pada tahun 1969/1970 hingga tahun 1993/1994 atau 25 tahun. Selama kurun tersebut, pendidikan Indonesia mengalami banyak bahan dan kemajuan .
a.         UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam rangka membangun sistem pendidikan nasional yang mantap keberadaan UU no 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional ( UU SPN) merupakan acuan penting yang patut di catat UU SPN yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989 mengatur berbagai aspek dan bidang pendidikan, yaitu dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan, hak warga negara dalam pendidikan, satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, serta didik, tenaga kependidikan, sumber daya pendidikan, peran serta masyarakat, badan pertimbangan pendidikan nasional (BPPN), pengelolaan, pengawasan, dilengkapi ketentuan pidana dan ketentuan peralihan, jadi cakupannya cukup konferensif.
b.         Taman Kanak-Kanak
Sejak pelita I hingga akhir pelita V, pendidikan di TK mengalami perkembangan yang cukup mengesankan yang di tandai oleh kenaikan jumlah anak didik, guru, dan sekolah. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat khususnya orang tua semakin menyadari akan pentingnya pendidikan prasekolah sebagai wahana untuk menyiapkan anak dalam segi sikap, pengetahuan, dan keterampilan guna memasuki sekolah dasar.
c.         Pendidikan Dasar
Prestasi yang sangat mengesankan yang di capai selama pembangunan jangka panjang pertama(PJP I) ialah melonjakan jumlah peserta didik pada sekolah dasar (SD) madrasah IBTIDAYAH (MI) yang merupakan penggal pertama pendidikan dasar 9 tahun. Namun, keberhasilan yang dicapai tersebut masih di hadapkan pada berbagai kendala, antara lain masih tingginya angka putus sekolah dan angka tinggal kelas. Mutu pendidikan tingkat SD belum begitu tinggi disamping terdapat keragaman yang luas pada mutu pendidikan antara sekolah-sekolah yang berada pada lokasi geografis yang berbeda-beda.
Pada tingkat SLTP, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga minimal berpendidikan SLTP maka pada tanggal 2 Mei 1994 program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di canangkan.
d.         Pendidikan Menengah
Pada jenjang SLTA, selama PJP I terjadi kenaikaan yang luar biasa pada jumlah siswa, yaitu dari 0,7 juta pada awal tahun pelita I menjadi 4,1 juta siswa. Persoalan yang menonjol pada SLTA umum selama pelita V adalah tentang mutu lulusan yang terutama di ukur dari kesiapan untuk memasuki jenjang pendididkan tinggi. Perbedaan ini mengakibatkan akses keperguruan tinggi yang memiliki reportasi yang baik, menjadi tidak merata pula. Dalam kenyataan, hanya sebagian kecil lulusan SMK yang benar-benar memiliki persiapan untuk kerja. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan SMK selama ini belum sepenuhnya relevan dengan dunia kerja. Di SMK, tantangan utama yang diihadapi pelita V adalah peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.

e.         Pendidikan Tinggi
Baik PTN maupun PTS sama-sama menghadapi tantangan mengenai masih rendahnya proporsi mahasiswa yang mempelajari bidang teknologi dan MIPA ( Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ), sementara sebagian besar mahasiswa berada pada jurusan/progam studi ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. Pembangunan nasional banyak memerlukan lulusan bidang MIPA dan tekologi.
Masih tingginya jumlah mahasiswa yang lambat dalam menyelesaikan studi merupakan tantangan lain yang dihadapi. Hai ini menunjukan bahwa efesiensi eksternal atau (relevansi) yang merupakan tantangan besar. Itulah sebabnya, peningkatan relevansi merupakan prioritas dalam pengembangan dalam pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia.
f.          Pendidikan Luar Sekolah
Selama pelita V, di perkirakan sebanyak 5,3 juta warga masyarakat telah dibebaskan dari buta huruf. Hasilnya adalah semakin menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf.
g.         Tantangan ,kendala dan peluang
Ada sejumlah tantangan yang di hadapi oleh pembangunan pendidikan Indonesia pada masa-masa selanjutnya, yaitu :
a)      Belum mempunyai pendidikan mengimbangi perubahan struktur ekonomi dari pertanian tradisional ke indrustri dan jasa,
b)      Masih rendahnya relevansi pendidikan,
c)      Masih rendah dan belum meratanya mutu pendidikan,
d)     Masih tingginya angka putus sekolah dan tinggal kelas yang mengakibatkan ketidakstabilan dalam penyelenggaraan pendidikan,
e)       Masih banyaknya kelompok untuk 10 tahun keatas yang buta huruf,
f)         Masih kurangnya peran serta dunia usaha dalam pendidikan.
g)       Ada kendala yang dihadapi dalam peningkatan kinerja pendidikan nasional, yaitu:
1.      Dari pihak masyarakat, kendala tersebut adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang berkaitan dengan masih rendah nya penghargaan akan pendidikan pada sebagian kelompok masyarakat,
2.      Terbatasnya jumlah guru yang bermutu disamping penyebarannya yang tidak merata,
3.      Terbatasnya sarana prasarana, dan Manajemen sistem pendidikan yang belum secara terarah menuju peningkatan mutu,relevansi,dan efesiensi pendidikan
h)      Adapun peluang yang dimiliki oleh pendidikan nasional adalah:
1.      Keberhasilan wajib belajar 6 tahun yang memberikan landasan bagi pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahu
2.      Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan ,
3.      Semakin luasnya sarana komunikasi,
4.      Semakin tersebar luasnya lembaga pendidikan negeri maupun swasta,
5.      Adanya UU no 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional yang memberikan landasan yang kokoh bagi pendidikan nasional.
Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap, berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional, serta mampu menjawab tantangan masa kin dan masa depan, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan meberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas tersebut adalah pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang bersamaan dengan peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pada semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.



D.        Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini

Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas tersebut adalah wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun bersamaan dengan peningkatan mutu.
a.         Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
1).        Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
1.      Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
2.      Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
2).        Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
3).        Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
4).        Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
5).        Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
6.)        Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
7).        Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
8).        Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.

Pada tanggal 2 Mei 1994 wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP mulai diprioritaskan. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun mempunyai dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi semua kelompok umur 7-15 tahun. Kedua, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga mencapai SLTP.
            Peningkatan lamanya wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun memungkinkan peserta didik untuk lebih lama belajar di sekolah. Hal ini memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang dibutuhkan. Dengan adanya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, maka semua lulusan SD didorong untuk melanjutkan ke SMP. Sasaran-sasaran wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun adalah, pertama, meningkatkan angka partisipasi tingkat SMP. Kedua, meningkatkan jumlah lulusan SD/MI. Ketiga, tercapainya jumlah SD yang minimal berkualifikasi DII. Untuk menunjang tercapainya sasaran, dilakukan penambahan gedung sebanyak 3.000 unit dan 20.000 ruang kelas baru. Tantangan yang dihadapi oleh program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun memang lebih berat. Alasannya, pertama, hanya sekitar separuh dari kelompok umur 13-15 tahun yang berada di sekolah. Kedua, daya dukung sumber daya berupa dana, sarana dan tenaga yang dimiliki oleh Indonesia untuk pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Ketiga, guna menampung anak usia 13-15 tahun di SLTA diperlukan sarana, biaya, dan tenaga.
b.         Pelaksanaan Kurikulum
Kurikulum 1994 diberlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. Kurikulum 1994 disusun dengan maksud agar proses pendidikan dapat selalu menyesuaikan diri dengan tantangan yang terus berkembang, sehingga mutu pendidikan akan semakin meningkat. Menyusul terjadinya reformasi, dilakukan kembali revisi atas Kurikulum 1994 dengan menata kembali struktur program yang kemudian dikenal dengan Kurikulum 1994 Yang Disempurnakan.

1)      Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
2)      Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang  dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional  umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah di atur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
3)      Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu.
4)      Kurilukum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi
c.         Pengadaan Buku Pelajaran
Pemerintah menyediakan buku paket sebagai buku teks pokok yang diadakan secara cuma-cuma kepada semua SD/MI di seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta. Pengadaan buku paket bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara meningkatkan produksi dan distribusi buku yang lebih bermutu, menjamin ketersediaannya di kelas serta pemanfaatannya secara maksimal oleh guru dan siswa. Sementara untuk memenuhi kebutuhan buku teks pokok untuk SLTP, pemerintah menyediakan buku-buku tersebut  yang diedarkan secara cuma-cuma ke semua sekolah. Pengadaan buku paket tersebut seluas mungkin mengundang kepedulian semua pihak khususnya mereka yang berkepentingan terhadap buku. Misalnya, orangtua , guru , kepala sekolah, pejabat pendidikan. Orangtua harus tau anaknya akan mendapat buku secara cuma-cuma. Guru dan kepala sekolah harus paham bahwa siswanya akan mendapat buku untuk setiap mata pelajaran dan buku itu harus digunakan di sekolah tersebut. Pejabat pendidikan juga harus mengetahui bahwa setiap sekolah wajib dapat buku baik negeri mau pun swasta.
d.         Pembinaan Mutu Guru
Banyak faktor yang menentukan mutu pendidikan pada umumnya, yaitu mutu murid sendiri, sarana dan prasarana, dan juga guru. Mengenai peranan mutu guru, studi Balitbang Dikbud menyimpulkan bahwa ada korelasi antara tingkat pencapaian siswa dengan penguasaan guru dalam mata pelajaran, semakin tinggi penguasaan guru terhadap materi pelajaran, makin tinggi pula prestasi belajar siswa.
Kenyataan yang perlu dicermati berkaitan dengan guru ialah, pertama, pada SLTP dan SMA terdapat ketidaksesuaian antara bidang keahlian dengan mata pelajaran yang ditangani. Hal ini menuntut penanganan, karena akan menghambat peningkatan mutu. Kedua, rata-rata pendidikan guru masih harus ditingkatkan. Misal persyaratan minimal untuk guru SD adalah DII, SLTP minimal DIII, SMA minimal S1, dan sebagainya.
Kedua masalah itu harus ditangani secara serius karena akan berdampak pada mutu pendidikan yang dihasilkan. Secara umum mutu guru harus ditingkatkan, misal seminar-seminar dan penataran/pelatihan.
e.         Pendidikan Menengah Umum
Agenda penting Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah meningkatkan daya tampung yang sejalan dengan peningkatan mutu dan efektivitas program pendidikan di SMU. Dengan demikian semakin tinggi angka partisipasi pada pendidikan dasar sebagai hasil dari pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan upaya-upaya peningkatan daya tampung melalui pembangunan unit/gedung baru dan pembangunan ruang kelas baru. Idealnya semua SMU mampu menghasilkan lulusan bermutu tinggi yang menjadi masukan/input ke perguruan tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya belum semua SMU mampu menghasilkan lulusan yang bermutu tinggi karena berbagai keterbatasan.
f.          Pendidikan Menengah Kejuruan
Potensi SMK di indonesia sangat besar yang meliputi 4.092 SMK yang terdiri atas 726 SMK negeri dan 3.366 SMK swasta. Di SMK usaha-usaha untuk semakin mendekatkan sekolah dengan dunia kerja dilakukan secara intensif melalui model Pendidikan Sistem ganda (PSG) yang di mulai pada tahun 1994 PSG di SMK pada dasarnya menganut 2 prinsip :
1.      Program pendidikan kejuruan di SMK merupakan program bersama (joint program) antara SMK dengan industri yang menjadi mitra sekolah melaksanakan PSG.
2.      Program pendidikan kejuruan SMK dilaksanakan, yaitu sebagian di sekolah untuk teori dan praktek dasar, dan di industri untuk praktek ketrampilan industri untuk praktek ketrampilan produktif.
Pelaksanaan PSG di ikuti pula oleh penataan secara menyeluruh sistem pendidikan di SMK yang meliputi kurikulum, guru, sarana dan prasarana, dan kepemimpinan sekolah. Untuk lebih meningkatan peran dunia industri dalam pelaksanaan PSG, telah di bentuk Majelis Pendidikan Kejuruan ( MPK ) di tingkat nasional, provinsi dan sekolah. Sampai saat ini, PSG telah berjalan di semua SMK negeri dan SMK swasta dengan kualitas pelaksanaan yang berbeda
g.         Pendidikan Tinggi
Upaya untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan tinggi, dosen disertai dengan pasca sarjana. Pada tahun 1994 sebanyak 22 PTN dan 39 PTS menyelenggarakan  program Pascasarjana (S2) dengan jumlah mahasiswa sekitar 8ribu orang.Jumlah ini diproyeksikan untuk meningkat hingga mencapai 12 ribu mahasiswa pascasarjana.  
Perkembngan lain yang perlu dicatat ialah berdirinya badan akreditasi Nasional Pergurun Tinggi (BAN-PT) pada tahun 1995 BAN-PT menandai babak baru dalam dunia pendidikan tinggi indonesia tugasnya ialah melakukan penilaian berkala terhadap perguruan tinggi yang meliputi kurikulum,mutu dan jumlah tenaga kependidikan,keadaan mahasiswa,pelaksanaan pendidikan ,sarana dan prasarana,kepegawaian,keuangan dan kerumah tanggaan.Berdasarkan hasil penilaian teressebut ditetapkan lah status akreditasi program study di perguruaan tinggi.Sebagai suatu badan yang independen,BAN-PT memikul tugas yang tidak ringan karena harus melakukan penilaian secara berkala dan berkesinambungan terhadap semu PT baik PTN maupun PTS
h.         Agenda Agenda Ke Depan
Memasuki pergantian abad,yaitudari abad ke 20 ke abad 21 yang dikenal dengan milenium ke 3,pendidikan Indonesia dihadapkan padatantangan tantangan yang berat dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu.Dengan bertolak dari kemajuan kemajuan yang telah di capai sebelumnya,yang dikemukakan beberapa agenda pembangunan pendidikan di Indonesia untuk saat ini dan masa depan.
1.      Penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dengan cara :
Ø  Menambah jumlah gedung dan ruang kelas baru yang didekatkan dengan tempat tinggal.
Ø  Memperkuat kelembagaan SLTP swasta agar pencapaian sasaran wajib belajar lebih meningkat
Ø  Memperluas jangkauan SLTP terbuka melalui pembukaan SLTP SLTP terbuka baru dan menambah tempat kegiatan belajar (TKB)dan kejar paket B
Ø  Meningkatkan peran serta masyarakat dan kesadaran orangtua dalam pelaksaan wajib belajar
2.      Peningkatan daya tampung SLTA (SMU dan SMK) dan Perguruan Tinggi dengan dilaksanakannya wajib belajar9 tahun, maka jumlah lulusan SLTP akan semakin meningkat yang akan meumbuhkan kebutuhan yang lebih besar terhadap tersedianya pendidikan ke SLTA. Hal yang sama berlakunpada perguruan tinggi daya tampung perguruan tinggi khususnya PTN perlu terus dipacu untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan.
3.      Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan pada semua jalur perlu terus dilanjutkan mengingat tuntutan sektor-sektor pembangunan dan masyarakat terhadap pendidikan yang bermutu semakin besar dengan metode pengajaran yang perlu di tingkatkan engan cara peniingkatan mutu guru perlu ditangani secara lebih intensif dan pengelolaan sumber daya pendidikan yang tersedia lebih baik lagi.
4.      Pemanfaatan sumberdaya pendidikan yang jumlahnya terbatas perlu dilanjutkan sehingga benar-benar dapat memberikan hasil yang maksimal terhadap pemerataan kesempatan, peningkatan mutu.
5.      Pelaksanaan desentralisai pendidikan sejalan dengan undang-undang No.22/1999 tantang pemerintahan daerah akan membawa implikai yang lua pada model dan pola managemen pendidikan. Managemen pendidikan yang selama ini cenderung di ubah menjadi desentralistik dengan cara menyerahkan sebagian besar penanganan program-program pendidikan.
i.          Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
1.      Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
2.      Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.

BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan
“Knowledge is power”. Kutipan dari Francis Bacon tersebut mengungkapkan bahwa pokok kekuatan menusia adalah pengetahuan. Manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta sehingga manusia mampu bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang. Proses tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan pendidikan. Pendidikan adalah sebuah kegiatan perbaikan tata laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan.
Pendidikan juga tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sebuah bangsa. Keduanya saling memengaruhi. Kemajuan sebuah bangsa juga ditentukan dari kemajuan pendidikan yang dienyam rakyatnya. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Pendidikan di Indonesia juga telah mengalami berbagai fase perjalanan hingga seperti sekarang. Buku ini memaparkan sejarah pendidikan di Indonesia, dari zaman kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan Islam, penjajahan, masa sesudah kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi.
Sejarah pendidikan di Indonesia juga melalui tahap-tahap dan dari zaman ke zaman yang mempunyai pendiri serta kurikulum yang berbeda-beda. Yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
a.         Pendidikan  di Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Pendidikan diindonesia padazaman sebelum kemerdekaan dapat digolongkan kedalam tiga periode, yaitu: 1) pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan; 2) pendidikan yang berlandaskan kepentingan penjajah; dan 3) pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan. Yang terdiri dari :
1.      Pendidikan Hindu-Budha
2.      Pendidikan Islam
3.      Pendidikan Katolik dan Kristen-Protestan
4.       Pendidikan pada Zaman VOC
5.       Pendidikan Pada Zaman Kolonial Belanda
6.        Pendidikan Pada Masa Pendudukan Jepang
b.         Perintis Perguruan Pertama Kali di Indonesia
Ada empat perguruan yang secara kronologis pertama berdiri di Indonesia. Yaitu, Muhammadiyah, Taman Siswa, Ma’arif, dan INS Kayutanam. Keempatnya dibicarakan disini karena sama-sama merupakan tanggapan bangsa Indonesia terhadap keadaan pada masa penjajahan. Meskipun masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri dengan dasar dan tujuan yang berbeda-beda, namun misi dan sifat pedagogis, nasional, politis, keagamaan, atau kombinasi nasional-pedagogis, nasional-religius, atau nasional-politis. Dari keempat perguruan tersebut, yang masih giat menyelenggarakan pendidikan dengan jangkauan yang luas di Tanah Air adalah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Ma’arif. Sedangkan INS Kayutanam telah hancur secara fisik pada tahun 1949.
c.         Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969)
Pendidikan dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor penyelenggara urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus sampai 14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para menteri tersebut.
d.         Kondisi pendidikan pada PJP 1
Pembangunan jangka panjang pertama, meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai pada tahun 1969/1970 hingga tahun 1993/1994 atau 25 tahun. Selama kurun tersebut, pendidikan Indonesia mengalami banyak bahan dan kemajuan . Yaitu sebagai berikut :
1.      UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional
2.      Taman Kanak-Kanak
3.       Pendidikan Dasar
4.      Pendidikan Menengah
5.      Pendidikan Tinggi
6.      Pendidikan Luar Sekolah
7.      Tantangan ,kendala dan peluang
e.         Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini
Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas tersebut adalah wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun bersamaan dengan peningkatan mutu. Selain itu upaya yang dilakukan pemerintah agar memajukan perkembangan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut .
1.      Pelaksanaan Kurikulum 1994
2.      Pengadaan Buku Pelajaran
3.      Pembinaan Mutu Guru
4.      Pendidikan Menengah Umum
5.      Pendidikan Menengah Kejuruan
6.      Pendidikan Tinggi
7.      Agenda Agenda Ke Depan

E.        Pendidikan Karakter

Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,budaya,danadatistiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaansarana,prasarana,dan,pembiayaan,dan,ethoskerjaseluruhwargadanlingkungansekolah.
“Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh tidak sekedar membentuk anak-anak muda menjadi pribadi yang cerdas dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi pelaku baik bagi perubahan dalam hidupnya sendiri, yang pada gilirannya akan menyumbangkan perubahan dalam tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, baik, dan manusiawi.”(Doni Koesoema A.Ed)
1.         Beda Karakter dan Kepribadian.
Kepribadian adalah hadiah dari Tuhan Sang Pencipta saat manusia dilahirkan dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan kelebihannya di aspek kehidupan sosial dan masing-masing pribadi. Kepribadian manusia secara umum ada 4, yaitu :
1. Koleris : tipe ini bercirikan pribadi yang suka kemandirian, tegas, berapi-api, suka tantangan, bos atas dirinya sendiri.
2. Sanguinis : tipe ini bercirikan suka dengan hal praktis, happy dan ceria selalu, suka kejutan, suka sekali dengan kegiatan social dan bersenang-senang.
3. Phlegmatis :  tipe ini bercirikan suka bekerjasama, menghindari konflik, tidak suka perubahan mendadak, teman bicara yang enak, menyukai hal yang pasti.
4. Melankolis : tipe ini bercirikan suka dengan hal detil, menyimpan kemarahan, Perfection, suka instruksi yang jelas, kegiatan rutin sangat disukai.
Saat setiap manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru, inilah yang disebut dengan Karakter. Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus, itulah Karakter. Pendidikan Karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan lain-lainnya. Dan itu adalah pilihan dari masing-masing individu yang perlu dikembangkan dan perlu di bina, sejak usia dini (idealnya).
Karakter tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang tidak instan. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari.Banyak kami perhatikan bahwa orang-orang dengan karakter buruk cenderung mempersalahkan keadaan mereka. Mereka sering menyatakan bahwa cara mereka dibesarkan yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi lainnya yang menjadikan mereka seperti sekarang ini. Memang benar bahwa dalam kehidupan, kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali kita, namun karakter Anda tidaklah demikian. Karakter Anda selalu merupakan hasil pilihan Anda.Ketahuilah bahwa Anda mempunyai potensi untuk menjadi seorang pribadi yang berkarakter, upayakanlah itu. Karakter, lebih dari apapun dan akan menjadikan Anda seorang pribadi yang memiliki nilai tambah. Karakter akan melindungi segala sesuatu yang Anda hargai dalam kehidupan ini.Setiap orang bertanggung jawab atas karakternya. Anda memiliki kontrol penuh atas karakter Anda, artinya Anda tidak dapat menyalahkan orang lain atas karakter Anda yang buruk karena Anda yang bertanggung jawab penuh. Mengembangkan karakter adalah tanggung jawab pribadi Anda.
2.         Contoh Program Pendidikan karakter.
a.         Lingkungan Sekolah:
Ø  Training Guru
Terkait dengan program pendidikan karakter disekolah, bagaimana menjalankan dan melaksanakan pendidikan karakter disekolah, serta bagaimana cara menyusun program dan melaksanakannya, dari gagasan ke tindakan.
Program ini membekali dan memberikan wawasan pada guru tentang psikologi anak, cara mendidik anak dengan memahami mekanisme pikiran anak dan 3 faktor kunci untuk menciptakan anak sukses, serta kiat praktis dalam memahami dan mengatasi anak yang bermasalah dengan perilakunya.
Ø  Program Bimbingan Mental
Program ini terbagi menjadi dua sesi program :
Sesi Workshop Therapy, yang dirancang khusus untuk siswa usia 12 -18 tahun. Workshop ini bertujuan mengubah serta membimbing mental anak usia remaja. Workshop ini bekerja sebagai “mesin perubahan instant” maksudnya setelah mengikuti program ini anak didik akan berubah seketika menjadi anak yang lebih positif.
Sesi Seminar Khusus Orangtua Siswa, membantu orangtua mengenali anaknya dan memperlakukan anak dengan lebih baik, agar anak lebih sukses dalam kehidupannya. Dalam seminar ini orangtua akan mempelajari pengetahuan dasar yang sangat bagus untuk mempelajari berbagai teori psikologi anak dan keluarga. Memahami konsep menangani anak di rumah dan di sekolah, serta lebih mudah mengerti dan memahami jalan pikiran anak, pasangan dan orang lain.
3.         Lingkungan Keluarga:
1)      Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini.
Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif. Untuk itu, Tumbuhkan pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini, salah satunya dengan cara memberikan kepercayaan pada anak untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, membantu anak mengarahkan potensinya dengan begitu mereka lebih mampu untuk bereksplorasi dengan sendirinya, tidak menekannya baik secara langsung atau secara halus, dan seterusnya.
Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ingat pilihan terhadap lingkungan sangat menentukan pembentukan karakter anak. Seperti kata pepatah bergaul dengan penjual minyak wangi akan ikut wangi, bergaul dengan penjual ikan akan ikut amis. Seperti itulah, lingkungan baik dan sehat akan menumbuhkan karakter sehat dan baik, begitu pula sebaliknya. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah membangun hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan YME terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual yang terimplementasi pada kehidupan sosial.
4.         Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa.
Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. "Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga tidak penting, ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak seseorang itu ”bertutur kata dan bertindak”. Simak, telaah, dan renungkan dalam hati apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-sikap: kejujuran, integritas, komitmen,kedisipilinan,visioner,dankemandirian.Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan.
Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu.  Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka.
Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial,  dan,budayabangsa “Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka. (MuktionoWaspodo)
5.         Pendidikan Karakter yang Berhasil.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputisebagaiberikut:
1)      Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja.
2)      Memahami kekurangan dan kelebihan dirisendiri.
3)      Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.
4)      Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional.
5)      .Menunjukkan sikap percaya diri.
6)      Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis,dankreatif.
7)      Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif.
8)      Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
9)      Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
10)  Mendeskripsikan gejala alam dan social.
11)  Memanfaatkan lingkungan secara bertanggungjawab.
12)  Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.
13)  Menghargai karyaseni dan budayanasional.
14)  Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya.
15)  Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik.
16)  Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dansantun.
17)  Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat
18)  Menghargai adanyaperbedaanpendapat.
19)  Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana.
20)  Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa IndonesiadanbahasaInggrissederhana.
21)  Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah.
22)  Memilikijiwakewirausahaan.
23)  Menunjukkan sikap percaya diri.

Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.

B.        Saran
Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat kompleks. yaitu permasalahan eksternal dan internal. Masalah system kelemahan (dialisme dikotomi), profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman terhadap sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai permasalahan pendidikan yang komplek itu, baik eksternal maupun internal adalah saling terkait. Hal ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial; yang merupakan pendekatan terpadu.
 Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas yang belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung jawab. Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi dewasa ini.
Daftar Pustaka
Haryatmoko, “Menuju Orientasi Pendidikan Humanis dan Kritis”, dalam bukuMenemukan Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan, (Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2008), hlm. 67.
Rianti Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.15-16
 Ibid, 2008, hlm. 16.
 Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,  1997), hlm 49-50.
 Ibid, 1997, hlm 53-58.
Somarsono Moestoko. 1986. Sejarah Pendidikan dari jaman kejaman. Balai pustaka. Jakarta. Hal 145
 Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Zindonesia zaman kemerdekaan (1945-1950). Depdikbud. Jakarta. Hal 11.
Somarsono Moestoko. 1986. Sejarah Pendidikan dari jaman kejaman. Balai pustaka. Jakarta. Hal 148
Ibid hal 17
Op cit hal162
Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm. 87
Ibid, 2009, hlm. 92.
Idem.
M.C. Riklefs. 200. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. PT Serambi Ilmu Semesta. Hal 473-474.
Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Zindonesia zaman kemerdekaan (1945-1950). Depdikbud. Jakarta. Hal
Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Zindonesia zaman kemerdekaan (1945-1950). Depdikbud. Jakarta. Hal
Sumarsono, Moestoko. 1986. Pendidikan Indonesia dari jaman ke jaman. Balai Pustaka: Jakarta
Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Zaman Kemerdekaan (1945-1950).Departeman Pendidikan Dan Kebudayan: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar