DAFTAR ISI
Daftar Isi........................................................................................................................... i
Bab I
PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar
Belakang..................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................
2
Bab II
PEMBAHASAN............................................................................................. 3
A.
Pendidikan Indonesia Pra Kemerdekaan ............................................................. 6
B.
Pendidikan Indonesia Awal Kemerdekaan........................................................... 11
C.
Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan................................................... 22
D.
2.4 Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini ........................................................... 30
E.
Pendidikan Karakter............................................................................................. 50
Bab III
PENUTUP.......................................................................................................57
3.1 Kesimpulan......................................................................................................57
3.2 Saran................................................................................................................58
Daftar
Pustaka
SEJARAH
PENDIDIKAN INDONESIA MASA LALU DAN MASA SEKARANG
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada hakekatnya menjadi
pedoman maupun pegangan bagi manusia sebagai generasi penerus bangsa Pada
dasarnya pendidikan tidak pernah selesai sampai kapanpun, sepanjang masih ada
kehidupan di dunia ini.. Pendidikan sudah sepatutnya menentukan masa
depan suatu negara untuk menciptakan serta mampu memperbaiki dan memajukan kehidupan
bangsa ke arah yang lebih baik karena manusia memiliki potensi kreatif dan
inovatif dalam segala bidang kehidupan.
Pendidikan menjadi salah satu aspek
penting dalam kehidupan manusia berbangsa dan bernegara. Visi pendidikan harus
diterjemahkan ke dalam sistem pendidikan yang memiliki sasaran jelas. Pada awal
kemerdekaan, pembelajaran di sekolah-sekolah lebih ditekankan pada semangat
nasionalisme dan membela tanah air. Visi pendidikan diharapkan mampu menentukan
tujuan pendidikan yang jelas. Masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang
masa kini. Sistem pendidikan yang kita kenal sekarang adalah hasil
perkembanagan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita. Bagi
bangsa indonesia krisis multidimensi membawa hikmah dan pelajaran yang luar
biasa besarnya, yang pasti bangsa ini dapat menatap dan membangun masa depan
dengan semangat yang lebih optimis.
Pada masa yang telah lewat, dunia
pendidikan terus berubah. Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus
menerus berubah, apalagi di dalam dunia terbuka, yaitu di dalam dunia modern
dalam era globalisasi. Kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang
dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar. Tinjauan terhadap
standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya
membawa kita dalam pengungkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu,
kemungkinan adanya pendidikan terkekang oleh standar kompetensi saja
sehingga kehilangan makna tujuan pendidikan tersebut. Ki Hajar Dewantara,
sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak dasar yang kuat pendidkan
nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang
merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut :
Pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak
boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan
hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras
dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis
pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan
pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani,
dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan
proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang
erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan
ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena
merupakan subyek di dalam pendidikan, maka
dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu
sebagai subyek dan pendidikan meletakkan
hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah
otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya
yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan
tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa
yang sederhana demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak
mengerti menjadi mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah
proses pendidikan itu tentu saja tidak
sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan
jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan
manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak
terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi
insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu
memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak
tercerabut dari akar tradisinya.
Bagi orang-orang yang berkompeten
terhadap bidang pendidikan akan menyadari
bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini
masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang
“sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang
seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya
seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan
tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem
pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan
“manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan
yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang
seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang
merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi
adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang
sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai
macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat
dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan
seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid.
Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan
“siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam
pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara
kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama
seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau
kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika
Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para
peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru
sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis
apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang
diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari
guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan,
pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang
disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai
subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan
ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan
bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan
merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk
memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena
yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia
tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah
kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung
dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
“strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu
kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis
kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan
ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan
kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan
sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan
tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu
menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain?
Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki
Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
pendidikan di indonesia pra
kemerdekaan?
2. Bagaimanakah
pendidikan di Indonesia setelah kemerdekaan?
3. Bagiamanakah
pendidikan di indonesia pada saat ini?
4. Bagamana
masalah pendidikan karakter di Indonesi
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui pendidikan di indonesia pra kemerdekaan
2. Untuk
mengetahui pendidikan di Indonesia setelah kemerdekaan
3. Untuk
mengetahui pendidikan di Indonesia pada saat ini
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Pra Kemerdekaan
Masa pra kemerdekaan begitu banyak persoalan yang
menerpa dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan pada saat itu masih
dipengaruhi oleh kolonialisme, alhasil bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada
penjajah atau setelah pasca kemerdekaan adalah untuk kepentingan para penguasa
pada saat itu. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan
untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pendidikan di zaman penjajah
adalah pendidikan yang menjadikan penduduk Indonesia bertekuk lutut di bawah
ketiak kolonialis. Bangsa ini tidak diberikan ruang yang lebar guna membaca dan
mengamati banyak realitas pahit kemiskinan yang sedemikian membumi di bumi
pertiwi. Dalam pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini bertujuan
membutakan bangsa ini terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa yang
seharusnya dan sejatinya wajib dimerdekakan.
Pendidikan modern di Indonesia
dimulai sejak akhir abad ke-18, ketika belanda mengakhiri politik “tanam paksa”
menjadi politik etis, sebagai akibat kritik dari kelompok sosialis di negeri
Belanda yang mengecam praktik tanam paksa yang menyebabkan kesengsaraan maha
dasyat di Hindia Belanda. Pendidikan “ongko loro” diperkenalkan bukan saja
sebagai elaborasi terhadap desakan kaum sosialis di negeri Belanda, namun juga
didasari kebutuhan pemerintah pendudukan untuk mendapatkan pegawai negeri
jajaran rendah di dalam administrasi pendudukannya. Pendidikan yang digerakkan
oleh penjajah belanda kamudian ditiru kembangkan oleh kaum nasionalis Indonesia
Sejarah pendidikan di Indonesia modern
dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, “Pagoeyoeban
Pasoendan” di tahun 1913, dan Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan
menghasilkan kemerdekaan RI tahun 1945. Soekarno, presiden pertama Indonesia
membawa semangat “nation and character building” dalam pendidikan
Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak-anak dicari
untuk disekolahkan tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas guru, didirikan
pendidikan guru yang diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun, SGA/KPG, kursus B-1
dan kursus B-2.
Konsep ideal pendidikan kolonialis
adalah pendidikan yang sedemikian mungkin mampu mencetak para pekerja yang
dapat dipekerjakan oleh penjajah pula, bukan lagi untuk memanusiakan manusia
sebagaimana dengan konsep pendidikan yang ideal itu sendiri. Tujuan pendidikan
kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk
mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat
ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak
dari pemerintahan kolonial. Selain itu, agar penduduk pribumi menjadi pengikut
negara yang patuh pada penjajah, bodoh, dan mudah ditundukkan serta
dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak menuntut kemerdekaan bangsanya.
1. Pendidikan
Hindu-Budha
Ajaran hindu dan Budha memberikan
corak pada praktek pendidikan di Indonesia pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu
dan Budha di Kalimantan (Kutai), Pulau Jawa (Tarumanegara hingga Majapahit),
Bali dan Sumatera (Sriwijaya).
Pada periode awal berkembangnya agama
Hindu-Budha di Nusantara, sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang
dilaksanakan di biara-biara atau padepokan.Pada perkembangan selanjutnya,
muatan pendidikan bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu
pengatahuan yang meliputi sastra, bahasa, filsafat, ilmu pemerintahan, tata
negara dan hukum. Kerajaan-kerajaan Hindu di tanah Jawa banyak melahirkan para
empu dan pujangga besar yang melahirkan karya-karya seni yang bermutu tinggi.
Pada masa itu, pendidikan mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi
dikendalikan oleh para pemuka agama. Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin
pudar dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pada awal abad ke-16, dan pendidikan
dengan corak Islam dalam kerajaan-kerajaan Islam datang menggantikannya.
2. Pendidikan
Islam
Pendidikan berlandaskan ajaran Islam
dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India ke Nusantara pada abad
ke-13. Di pulau Jawa, pusat penyebaran Islam membentang mulai Banten, Cirebon,
Demak hingga ke Gresik. Lama kelamaan, bersamaan dengan pudarnya
kerajaan-kerajaan Hindu, ajaran Islam makin berkembang dengan baik di pesisir
maupun di pedalaman pulau-pulau Jawa dan Sumatera.
Di pulau Jawa dan Sumatera yang
penduduknya lebih dahulu mengadakan kontak dengan pendatang dari luar Indonesia
(terutama dari Cina, Indiadan Indocina), didapati pendidikan agama Islam di
masa pra kolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan di
pesantren, dan pendidikan di madrasah. Praktek pendidikan di langgar dan di
pesantren berbeda dengan cara mengajar di sekolah-sekolah modern yang
menggunakan sistem yang formal dan berjenjang. Pendidikan di Indonesia baru
mengenal sistem berjenjang yang formal sejak masuknya pengaruh Belanda. Namun
hingga datangnya kolonial belanda dan bahkan hingga sekarang, ketiga corak
pendidikan Islam yaitu pendidikan di langgar, pesantren, dan madrasah tetap
bertahan.
3. Pendidikan
Katolik dan Kristen-Protestan
Pendidikan Katolik berkembang mulai
abad ke-16 melalui orang-orang Portugis yang menguasai Malaka. Misi mereka yang
dikenal dengan misi suci (mission sacre) dilaksanakan bersama-sama
dengan misi pencarian rempah-rempah. Segera setelah mereka menduduki suatu
daerah atau pulau, usaha pertama yang dilakukannya adalah menjadikan penduduk
setempatsebagai pemeluk Katolik-Roma. Kekuasaan portugis tidak berlangsung
lama, hanya sekitar setengah abad, karena diusir oleh Spanyol. Kemudian Spanyol
menyebarkan agama Kristen-Protestan dan mengembangkan sistem pendidikannya
sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
4. Pendidikan pada Zaman VOC
Sebagaimana bangsa Portugis
sebelumnya, kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke-16 mula-mula
untuk tujuan dagang dengan mencari rempah-rempahdengan mendirikan VOC. Misi
dagang tersebut kemudian diikuti oleh misi penyebaran agama yang terutama
dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dilengkapi asrama untuk para
siswa. Di sana diajarkan agama Kristen-Protestan dengan bahasa pengantar bahasa
Belanda, dan sebagian menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-16, VOC
mendirikan sekolah di pulau-pulau Ambon, Banda, Lontar, dan Sangihe-Talaud.
Pada periode berikutnya, didirikan pula sekolah-sekolah dengan jenis dan tujuan
beragam. Pendirian sekolah-sekolah tersebut terutama diarahkan untuk
kepentingan untuk mendukung misi VOC di Nusantara.
5. Pendidikan
Pada Zaman Kolonial Belanda
Pudarnya VOC pada akhir abad ke-18
menandai masa datangnya zaman kolonial Belanda. Tugas untuk mengatur
pemerintahan dan masyarakat yang sebelumnya ditangani oleh Kompeni (institusi
dagang) kemuadian diambil alih oleh Pemerintah Belanda yang menjadikan
Hindia-Belanda sebagai tanah jajahan.
Sistem pendidikan diubah dengan
menarik garis pemisah antara sekolah Eropa dan sekolah Bumiputera. Sekolah
Eropa diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak orang Eropa di
Indonesia. Sedangkan sekolah Bumiputera yang tingkatan dan prestisenya lebih
rendah diperuntukkan bagi anak-anak bumiputera yang terpilih. Ada lagi sekolah
Cina bagi anak-anak Cina. Mulai akhir abad ke-19 dan hingga dasawarsa awal abad
ke-20 lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sangt beragam meliputi sekolah
dasar, sekolah menengah, sekolah raja, sekolah pertukangan, sekolah kejurauan,
sekolah-sekolah khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi, sekolah dokter,
perguruan tinggi hukum, dan perguruan tinggi teknik.
6. Pendidikan
Pada Masa Pendudukan Jepang
Meskipun singkat, berlangsung pada
tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang memberikan corak yang berarti pada
pendidikan di Indonesia. Tidak lama setelah berkuasa, jepang segera menghapus
sistem pendidikan warisan Belanda yang didasarkan atas penggolongan menurut
bangsa dan status sosial. Tingkat sekolah terendah adalah Sekolah Rakyat
(SR)yang disebut dalam bahasa Jepang Kokumin Gakko, yang terbuka untuk
semua golongan masyarakat tanpa membedakan status sosial dan asal-usulnya.
Kelanjutannya adlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama tiga tahun, kemuadian
Sekolah Menengah Tinggi (SMT) selama tiga tahun. Sekolah kejuruan juga
dikembangkan. Sekolah Hukum dan MOSVIA yang didrikan oleh Belanda dihapuskan.
Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Sekolah
Tinggi kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik
di Bandung.
Perubahan lain yang sangat berarti
di kemudian hari ialah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di
sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua
adalah bahasa Jepang. Sementara itu, bahasa Belanda dilarang sama sekali untuk
digunakan baik di sekolah-sekolah maupun di kantor-kantor, Sejak saat itu,
bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa
komunikasi ilmiah.
Tujuan utama pendidikan pada masa
pendudukan Jepang diarahkan untuk mendukung pendudukan jepang dengan
menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-cuma yang dikenal dengan romusha.
Di sekolah, para siswa mengikuti latihan fisik, baris berbaris meniru tentara
Dai Nippon, latihan kemiliteran disertai indoktrinasi yang intinya kesetiaan
penuh pada kaisar Jepang. Pemuda-pemuda yang menapak dewasa dijadikan romusha
dan sebagian direkrut untuk menjadi tentara.
B. Pendidikan Indonesia setelah awal Kemerdekaan
Secara garis
besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan
mendekati sistem pendidikan di negara-negara maju. Pada masa peralihan
antara tahun 1945-1950 bangsa Indonesia merasakan berbagai kesulitan baik di
bidang sosial ekonomi, politik maupun kebudayaan, termasuk pendidikan. Dari
sejumlah anak-anak usia sekolah hanya beberapa persen saja yang dapat menikmati
sekolah, sehingga sisanya 90% penduduk Indonesia masih buta huruf.
Kurikulum pasca kemerdekaan
kemerdekaan saat itu diberi nama Leer Plan dalam bahasa Belanda artinya
Rencana Pelajaran, lebih terkenal ketimbang kurikulum1947. Pada saat itu,
kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sitem pendidikan kolonial
Belanda dan Jepang. Sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya.
Rencana Pelajaran 1947 dikatakan sebagai pengganti sitem pendidikan kolonial
Belanda. Karena saat itu bangsa Indonesia masih dalam semangat juang merebut
kemerdekaan dan bertujuan untuk pembentukan karakter manusia Indonesia yang
merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi.
Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi
pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian
dan pendidikan jasmani. Tata susunan persekolahan sesudah Indonesia merdeka
yang berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiga tingkat pendidikan seperti pada
zaman Jepang tetap diteruskan sedangkan rencana pembelajaran pada umumnya sama
dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk sekolah.
Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan dari
bahasa Belanda ke dalam bahsa Indonesia yang sudah dirintis sejak jaman Jepang.
Adapun
susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah
sebagai berikut:
1)
Pendidikan Rendah
Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut
dengan Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian
SR ini adalah selain meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum
kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari mereka yang hendak
bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri PKK
tanggal 19 nopember 1946 NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran SR
dimana tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat
bahawa dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4
jam untuk bahasa daerah dan 17 jam berhitung untuk kelas IV< V dan VI.
Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di
seluruh Indonesia.
Ada
dua jenis pendidikan Umum yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah
menengah Tinggi (SMT).
Ø Sekolah
Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP mempergunakan
rencana pelajaran yang sama pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan
menteri PPK thun 1946 maka diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II
sehingga terdapat kelas II A,IIB, IIIA dan IIIB. Dibagian A diberikan juga
sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran
bahasa dan praktek administrasi. Dibagian B sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan
Ilmu Pasti.
Ø Sekolah
Menengah Tinggi (SMT): Kementerian PPK hanya mengurus langsung SMT yang ada di
jawa terutama yang berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung, semarang,
Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada di bawah
pengawasan pemerintah daerah berhubung sulitnya perhubungan dengn pusat. SMT
merupakan pendidikan tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat melanjutkan
ke perguruan tinggi. Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan yang diberikan
adalah rencana pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada waktu itu msaih
harus menyesuaikan dengan keadaan zaman yang masih belum stabil.
Demikian
rencana pembelajaran yang berlaku yaitu: (1) isinya memenuhi kebutuhan
nasional, (2) bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, (3) mutunya
setingkat dengan SMT menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat diselenggarakan
oleh masing-masing sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah tahun
1947 barulah berlaku ujian negara tersebut.
2)
Pendidikan Guru
Dalam
periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru yaitu:
1)
Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan
tujuan pendidikan guru untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima adalah tamatan
SR yang akan lulus dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran yang diberikan
bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan keguruan baru
diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima tamatan sekolah
SMP,SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya sejumlah guru
dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat kekuarangan
guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua yaitu, perta
ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.
2)
Sekolah Guru C (SGC) berhubung kebutuhan guru SR yang
mendesak maka terasa perlunya pembukaan sekolah guru yang dalam tempo singkat
dapat menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan sekolah guru dua tahun
setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena dirasakan kurang
bermanfaat kemudian ditutup kembali dan diantaranya dijadikan SGB.
3)
Sekolah guru A (SGA) karena adanya anggapan bahwa
pendidikan guru 4 tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk taraf pendidikan
guru, maka dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun sesudah SMP.
Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan kelas III SGB.
Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata pelajaran yang
diberikan di SGB hanya penyelenggaraannya lebih luas dan mendalam.
3) Pedidikan
Kejuruan
Yang dimaksud dengan pendidikan
kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan pendidikan kewanitaan:
1)
Pendidikan ekonomi: pada awal kemerdekaan pemerintah
baru dapat membuka sekolah dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah
Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga
administrasi atau pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah dagang tersebut
dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang.
2)
Pendidikan Kewanitaan: sesudah kemerdekaan pemerintah
membuka Sekolah Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru
kepandaian putri (SGKP) yang lama pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP.
4) Pendidikan
Teknik
Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena disamping
pelajarnya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut kadang-kadang
juga dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di Solo misalnya,
dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan kendali apaadanya.
Adapun sekolah-sekolah teknik yang ada pada masa itu ialah:
a.
Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini
lamanya satu tahun lamanya dan merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan
SR enam tahun. KKN terdiri atas jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot
rumah, las dan batu.
b.
Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan
tenaga tukang yang terampil tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama
pendidikan ini dua tahun sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan: kayu,
batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun
kulit, motor, ukur tanah dan cor.
c.
Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga
pengawasan bangunan. Lama pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan
meliputi jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan jalan, bangunan
radio, bangunan kapal, percetakan dan pertambangan.
d.
Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik
tenaga ahli teknik dan pejabat-pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat
tahun setelah SMP bagian B atau ST dan terdiri atas jurusn-jurusan: bangunnan
gedung, bangunan sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin,
bangunan listrik, bangunan mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang.
e.
Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk
memenuhi keperluan guru-guru sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk
mendidik guru yang menghasilkan:
a)
Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang
penuh pada STP dalam jurusan: bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.
b)
Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan
wewenang penuh pada ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan sipil, bangunan
gedung-geung dan mesin.
c)
Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh
pada STM dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik.
5) Pendidikan
Tinggi
Dalam periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi
semakin terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan ini
berkembang pesat tetapikarena adanya pelaksanaannya di lakukan perjuangan fisik
maka perkuliahan kerap kali di sela dengan perjuangan garis depan.
Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada, beberapa sekolah
tinggi dan akademi di Jakarta (daerah kependudukan) Klaten, Solo dan
Yogyakarta. Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati mengalami
berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapa dipisahkan dari perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu kekuatan dari seluruh
kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal kemerdekaan di Jakarta pada waktu
merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi kedokteran sebagai
kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan Nopember 1946 dibuka pula
Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I
kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir in di tutup oleh belanda sehingga
secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian pendidikan tinggi waktu itu
terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan Pendidikan tingkat
tinggi pendudukan Belanda.
6). Perintis
Perguruan Pertama Kali di Indonesia
Ada empat perguruan yang secara kronologis
pertama berdiri di Indonesia. Yaitu, Muhammadiyah, Taman Siswa, Ma’arif, dan
INS Kayutanam. Keempatnya dibicarakan disini karena sama-sama merupakan
tanggapan bangsa Indonesia terhadap keadaan pada masa penjajahan. Meskipun
masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri dengan dasar dan tujuan yang
berbeda-beda, namun misi dan sifat pedagogis, nasional, politis, keagamaan,
atau kombinasi nasional-pedagogis, nasional-religius, atau nasional-politis.
Dari keempat perguruan tersebut, yang masih giat menyelenggarakan pendidikan
dengan jangkauan yang luas di Tanah Air adalah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan
Ma’arif. Sedangkan INS Kayurtanam telah hancur secara fisik pada tahun 1949.
a). Muhammadiyah
Muhammadiyah lahir dibawah pengaruh
kebangkitan nasionalisme bangsa Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia
Belanda yang dimulai dengaan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Dalam
pemikiran keagamaan, saat itu ke Indonesia datang pula gelombang pembaharuan
dalam agama islam yang bersumber dari Mesir, Arab dan India. K.H. Achmad Dahlan
yang mempelajari pembaharuan-pembaharuan itu mendirikan perkumpulan
Muhammadiyah. Misi Muhammadiyah untuk menyebarkan agama, kemudian membuka dan
menyelenggarakan pendidikan, baik sebagai sarana untuk menerdaskan bangsa yang
dibodohi oleh pemerintah Belanda maupun sebagai sarana menyebarkan syiar islam
(Supriyadi, 2006 : 4.3).
Muhammadiyah didirikan di kampung
Kauman, Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Sekolah Muhammadiyah pertama
didirikan tahun 1911, satu tahun sebelum Muhammadiyah berdiri. Dalam
perkembangan kemudian, sekolah ini menjadi Volksschool (Sekolah Rakyat)
tiga tahun. Sebagai pendiri, K.H. Achmad Dahlan telah aktif memberikan
pendidikan tentang agama dan pengetahuan lainnya kepada penduduk di sekitar kampungnya.
Muhammadiyah kemudian juga mendirikan sekolah rakyat tiga tahun yang diberi
nama Sekolah Kesultanan (Sultanaatschool), menyusul kemudian HIS
Muhammadiyah, sekolah menengah yang dimulai dengan MULO yang diberi subsidi
oleh Pemerintah Belanda, juga sebuah Algemene Middel School (AMS) dan Holland
Inlandse Kweekschool. Kurikulum sekolah-sekolah Muhammadiyah di masa itu
menyeimbangkan muatan pelajaran agama dan umum dengan porsi masing-masing
sekitar 50%.
Dasar dari Muhammadiyah adalah
pembaharuan di bidang agama yang pada hakikatnya mengikuti gerak hidup zaman
dan mengeluarkan golongan Islam dari isolasi sekaligus secara positif bergerak
di bidang sosial dan pendidikan.
b). Taman
Siswa
Taman Siswa sejak pendiriannya
mempunyai tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan ini jelas dari
pertimbangan Ki Hajar Dewantara, pendirinya, sewaktu berada di pengasingan di
Negeri Belanda untuk mendalami masalah pendidikan. Menurut Ki Hajar, rakyat
Indonesia harus benar-benar menyadari arti kehidupan berbangsa dan bertanah air
melalui pendidikan. Dengan mendirikan Kindertuin atau Taman Kanak-kanak
yang di kalangan Taman Siswa disebut Taman Indriya, pada tanggal 3 Juli 1922.
Lembaga pendidikan Taman Siswa diberi nama National Onderwijs Instituut
Taman siswa dengan Taman Indriya sebagai tingkat terendah.
Pendidikan Taman Siswa selanjutnya
mengakui hak-hak anak untuk bebas yang dinyatakan tidak tanpa batas. Batas itu
antara lain adalah lingkungan dan kebudayaan. Pengakuan atas kebebasan anak
adalah suatu prinsip pendidikan yang sangat pokok pada Taman Siswa. Prinsip
demokrasi dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan penegrtian sebgaia
berikut.
1. Anak dalam
pendidikan merupakan pusat perhatian pendidik.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan
yang terus berjalan, lingkungan anak makin luas dan segala sesuatu yang
dijumpainya akan dijadikan miliknya. Hal ini kemudian melahirkan prinsip konsentris,
kontinue, dan konvergen yang terkenal dengan istilah “tri-kon”
2. Musyawarah
sebagai prinsip demokrasi tetapi menghargai pimpinan.
Ki Hajar
Dewantara menganggap perlu ada suatu kewibawaan yang pada suatu ketika mengarah
pada musyawarah dan mufakat.
3. Dasar
demokrasi membawa kewajiban untuk memikul tanggung jawab.
Dasar demokrasi yang mengakui hak
anak untuk tumbuh dan berkembang menurut kodratnya telah melahirkan metode
“among” dengan semboyan “tut wuri handayani” yang kemudian diadopsi
menjadi semboyan pendidikan nasional. dasar demokrasi telah membawa Taman Siswa
menjadi tidak kaku dan melahirkan prinsip hidup kekeluargaan yang dikalangan
Taman Siswa dipraktekan dengan sungguh-sungguh.
Dengan gambaran di atas, maka Taman
Siswa, terutama dibidang pendidikan dan kebudayaan, telah memberikan andil
sangat besar terhadap pendidikan nasional. Bahkan Undang-Undang Pendidikan No.
4 tahun 1950 praktis telah mencakup semua prinsip Taman Siswa.
c). Pendidian
Ma’arif
Pendidikan Ma’arif saat ini
merupakan bagian dari organisasi Nahdatul Ulama. Cikal Bakal pendidikan Ma’arif
mulai berkembang pada tahun 1916 ketika dua Kiyai, K.H. Abdul Wahab hasbullah
dan K.H. Mas Mansur, mendirikan kursus debat yan diberi nama Taswirul Afkar.
Kursus ini kemudian berkembang dengan dibentuknya Jam’iyah Nahdatul Wathon
yang bertujuan memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Mulanya
Ma’arif dalam bentuk Madrasah berkembang di Jawa Timur, kemudian menyebar ke
daerah-daerah lain dengan dipelopori oleh para ulama NU. Mula-mula corak
pendidikannya adalah menyerupai “pesantren yang diformalkan”, dengan hanya
memuat pendidikan agama dalam kurikulumnya. Dalam perkembangan kemudian,
sebagaimana Muhammadiyah, Ma’arif memasukkan materi umum ke kurikulumnya.
Muktamar II NU di Surabaya pada
tahun 1927 memutuskan untuk memberikan perhatian yang penuh pada pengembangan
madrasah dengan dana ditanggung oleh umat islam, dan menolak bantuan dari
Belanda. Dalam Muktamar NU ke-4 di Semarang, para ulam membentuk bagian khusus
dalam tubuh NU yang menangani pendidikan, yang disebut Ma’arif. Sejak saat itu
gerak NU dalam mnyelenggarakan pendidikan semi-formal yang coraknya banyak
berbeda dengan pesantren yang menjadi basis NU mulai berkembang dan ditangani
secara sungguh-sungguh.
Basis pendidikan Ma’arif pada dasarnya adalah pesantren yang juga merupakan
basis utama kegiatan pendidikan NU. Hal inilah antara lain membedakannya dengan
Muhammadiyah yang lebih agresif dan sistematis dalam mengembangkan sistem
pendidikan sekolahnya dengan menerapkan manajemen modern.
Meskipun perkembangan lembaga
pendidikan Ma’arif tidak secepat dan seluas Muhammadiyah, pendidikan ini ikut
memberikan andil dalam pendidikan nasional, baik melalui pemikiran-pemikiran
para tokohnya maupun melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dimilikinya.
d). INS Kayutanam
Kayutanam adalah suatu kota kecil
dekat Padang Panjang. Di sanalah pada tahun 1926 didirikan Indonesische
Nederlandche School (INS), yang kemudian dikenal dengan INS Kayutanam.
Pendirinya adalah Muhammad Syafei (1896-1966) bersama Marah Soetan. Sekolah
tersebut semula dibawah pembinaan Organisasi Pegawai Kereta Api dan Tambang
Ombilin.
Sekolah ini didirikan sebgai
tanggapan terhadap pendidikan Belanda yang berlansung saat itu yang oleh
Muhammad Syafei dinilai intelektualistik dengan mementingkan kecerdasan dan
kurang memperhatikan pemupukan bakat-bakat anak. Melalui INS yang didirikannya
ia berusaha agar para siswa tidak menjadi cendekiawan setengah matang yang
angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan yang rendah hati. Di INS, para siswa
dididik untuk bekerja teratur dan produktif agar dapat hidup mandiri. Para
siswa mendapatkan mata pelajaran Kerja Tangan atau Keterampilan, Ilmu Bumi,
Ilmu Alam, dan Menggambar untuk mempertajam pengamatan. Olahraga yang
mendapatkan tempat khusu di INS diajarkan sebagai wahana untuk membuat
anak-anak sehat dan kuat. Kemudian Bahasa diajarkan sebagai alat berfikir
secara teratur.
Falsafah yang mendasari gagasannya adalah “Tuhan tidak sia-sia menjadikan
manusia dan alam lainnya. Masing-masing mesti berguna dan kalau tidak berguna
itu disebabkan kita tidak pandai menggunakannnya”. (dikutip dari Republik
Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, penerbitan Kementrian Penerangan, hlm.778).
INS Kayutanam mengembangkan sistem persekolahannya dengan didasarkan atas “aktivitas”
dan bertujuan untuk “melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada
diri sendiri”
INS memupuk semangat nasionalisme di kalangan para siswanya. Hal ini tampak
dari tujuan pendidikannya yaitu agar siswa dapat berdiri sendiri dan tidak
perlu mencari jabatan di kantor pemerintahan yang saat itu dikuasai oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Muhammad Syafe’i menunjukkan sifat sebagai
pendidik yang demokratis dan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
tumbuh dan berkembang menurut garis masing-masing yang ditentukan oleh bakat
dan pembawaannya.
Prinsip tidak mengggantungkan diri pada orang lain
juga dianut oleh Muhammad Syafe’i sendiri yang menolak tawaran pemerintah
Belanda untuk menerima bantuan. Pengembangan lembaga pendidikannya diusahakan
atas dasar prinsip “self-help” (mandiri) dengan mengumpulkan uang
melalui pertunjukkan, pameran hasil karya murid-murid, dan penjualan hasil
kerja mereka.
Meskipun gagasan dan praktek pendidikannya bagus, sistem persekolahan yang dikembangkan
oleh INS Kayutanam tidak berkembang di luar daerahnya. Semangat nasionalisme
dan non-kooperasi dengan Belanda, yang dipupuk oleh INS Kayutanam,
memang mampu membangkitkan keengganan untuk bekerja di kantor pemerintahan yang
pada waktu itu berarti kantor pemerintahan yang dikendalikan Belanda.
Pengorbanan yang diminta adalah bekerja keras tanpa bantuan dari pihak maupun
yang mengikat. Hal ini berarti bahwa para pendidik dituntut untuk hidup
sederhana dan mungkin dalam serba kekuranga.
INS Kayutanam bertahan hingga masa pendudukan Jepang,
dan masa Perang Kemerdekaan (tahun 1949) dan kemudian ditutup. Muhammad Syafe’i
sendiri setelah tidak menangani INS, ditunjuk sebagai Kepala Sekolah Guru Bantu
(SGB). Dan tutup usia pada tahun 1966.
C. Pendidikan
di Indonesia Setelah Kemerdekaan
Pendidikan dan pengajaran sampai
tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang terkenal dengan nama
jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor penyelenggara urusan
pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya kemerdekaan,
pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri
taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus sampai
14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14
November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G
Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober
1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak bayak
yang dapat diperbuat oleh para mentri tersebut.
Pada tanggal 1950 Perdana Menteri
Republik Indonesia,Drs. Mohammad Hatta, dan Perdana Merdana Republik Indonesia
Dr. A.Halim menandatangani suatu piagam persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia yang antara lain
menyatakan:
a. Menyetujui dalam waktu
sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan Indonesia
sebagai penjelmaan dari Republik indoonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus
1945. Sebelum Perundang-undangan kesatuan maka undang-undang dan peraturan yang
ada tetap berlaku, akan tetapi sedapat mungkin diusahakan supaya
perundangundangan Republik Indonesia (dahulu) berlaku.
b. Menyetujui
pembentukan panitia yang bertugas menyelenggarakan segala persetujuan untuk
menyelesaikan kesukaran-kesukaran di berbagai lapangan dalam waktuu
sesingkat-singkatnya.
Untuk melaksanakan piagam
persetujuan tersebut, maka dibentuk Panitia Bersama. Atas usul Panitia Bersama
tersebut, maka pada tanggal 30 Juni 1950 dikeluarkkan suatu pengumuman bersama
mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Pengumuman itu antara lain
menyatakan bahwa untuk tahun pengajaran 1950/1951 sistem pengajaran yang
berlaku pada Indonesia dahulu dijalankan di seluruh Indonesia denga maksud
dalam waktu yang singkat system itu akan ditinjau kkembali. Dangan adanya
pengumuman bersama itu, maka penyelenggaraan bersama pendidikan dan pengajaran
sejak Agustus 1950 pada hakikatnyaberjalan atas dasar Undang-Undang Pokok
Pendidikan dan Pengajaran Republik Indonesia No. 4/1950. UU ini berlaku untuk
seluruh wilayah Indonesia dengan mengesampingkan segala peraturan
sebelumya berlaku didaerah-daerah diluar Republik Indonesia yang berbeda dengan
UU No. 4/1950.
a. Tujuan
Dan Kurikulum Pendidikan
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan
pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali perubahan. Sebagaimana
tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan
(PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional
pada masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini
dapat di pahami, karena pada saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari
penjajah yang berlangsung ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda
ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu penanaman jiwa patrionisme
melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang
baru diproklamasikan.
Sejalan dengan perubahan suasana
kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami
perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang No.
4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. “Tujuan
pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia yang cukup dan warga negara
yang demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan
tanah air”.
Ø Kurikulum
sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di tujukan untuk: meningkatkan
kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
Ø meningkatkan
pendidikan jasmani,
Ø meningkatkan
pendidikan watak,
Ø menberikan
perhatian terhafap kesenian,
Ø menghubungkan
isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
Ø mengurangi
pendidikan pikiran.
Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang
gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan
kebudayaan di adakan perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu,
“Membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti
yang dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945”.
b. Sistem
Persekolahan
Sistem pendidikan di Indonesia pada
awal kemerdekaan pada dasarnya melanjutkan apa yang dikembangkan pada zaman
pendudukan jepang. Sistem dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan
rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun.
Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah
tinggi. Sekolah menengah pertama yang berlangsung tiga tahun mempunyai beberapa
jenis, yaitu sekolah menegah pertama (SMP) sebagai sekolah menengah pertama
umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus kerajinan negeri (KKN),
sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah menengah pertama
kejuruan; serta sekolah guru B (SGB) dan sekolah guru C (SGC) sebagai sekolah
menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung
tiga tahun, meliputi sekolah menengah tinggi (SMT) sebagai sekolah menengah
umum, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik
(ST), sekolah guru kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) dan kursus
guru.
Perkembangan lain yang penting
dicata pada era 1945-1969 ialah berdirinya42 Perguruan Tinggi Negara
berupa Universitas, insitut dan sekolah tinggi pada umumnya terletak di ibukota
propinsi, sehingga kurun waktu tersebut dapat dikatakan sebabgai “era pertumbuhan
PTN” .
c. Perkembangan
Jumlah Siswa
Berbeda dengan pada zaman kolonial
Belanda yang membedakan kesempatan belajar atas dasar ras dan asal-usul
keturunan, pada zaman kemerdekaan kesempatan belajar dibuka untuk semmua orang,
baik mellalui jalur sekolah maupun luar sekolah. Hal ini sejalan dengan bunyi
pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran”.Dalam UUD pendidikan No. 4/1950 dan UU No.
12/1954,pasal 17, disebutkan bahwa, “Tiap-tiap warga negara Republlik Indonesia
mempunyai hhak yang sama untuk diterima mejadi murid suatu sekolah jika
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran
pada sekolah itu ”.
Ciri yang menonjol diawal
kemerdekaan ialah tingginya motivasi belajar para siswa yang usianya sangat
beragam, meskipun sarana yang tersedia hanya seadanya. Keadaan ini merupakan
hal yang wajar setelah rakyat Indonesia mengalami berbagai pembatasan oleh
penjajah. Pada masa itu,para pelajar bukan hanya belajar di sekolah atau
ditempat kursus, melainkanjuga mereka ikut terjun mempertahankan kemerdekaan.
Statistik persekolahan mencatatbahwa sejak tahun 1945 terjadi lonjakan
jumlah siswa dan tenaga kependidikan didisemua jenjang pendidikan,hingga
berkali-kali lipat dari periode sebelumnya.
Untuk pembelajaran rakyat yang
pada umumnyamasih buta huruf pada masa-masa awal kemerdekaan , pada tanggal 1
Juni 1946dibentuk Bagian pendidikan Masyarakat pada Kementerian Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan yang bertugas:
a) Memberantas
buta huruf
b) Menyelenggarakan
kursus bahasa umum
c) Mengembangkan
perpustakaan rakyat.
Kondisi pendidikan pada PJP 1 : 1969-1993
Pembangunan jangka panjang pertama,
meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai pada tahun 1969/1970 hingga
tahun 1993/1994 atau 25 tahun. Selama kurun tersebut, pendidikan Indonesia
mengalami banyak bahan dan kemajuan .
a. UU
Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam rangka membangun sistem
pendidikan nasional yang mantap keberadaan UU no 2 tahun 1989 tentang sistem
pendidikan nasional ( UU SPN) merupakan acuan penting yang patut di catat UU
SPN yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989 mengatur berbagai aspek dan bidang
pendidikan, yaitu dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan, hak warga negara dalam
pendidikan, satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan, serta didik, tenaga
kependidikan, sumber daya pendidikan, peran serta masyarakat, badan
pertimbangan pendidikan nasional (BPPN), pengelolaan, pengawasan, dilengkapi
ketentuan pidana dan ketentuan peralihan, jadi cakupannya cukup konferensif.
b. Taman
Kanak-Kanak
Sejak pelita I hingga akhir pelita
V, pendidikan di TK mengalami perkembangan yang cukup mengesankan yang di
tandai oleh kenaikan jumlah anak didik, guru, dan sekolah. Hal ini menunjukan
bahwa masyarakat khususnya orang tua semakin menyadari akan pentingnya
pendidikan prasekolah sebagai wahana untuk menyiapkan anak dalam segi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan guna memasuki sekolah dasar.
c. Pendidikan
Dasar
Prestasi yang sangat mengesankan
yang di capai selama pembangunan jangka panjang pertama(PJP I) ialah melonjakan
jumlah peserta didik pada sekolah dasar (SD) madrasah IBTIDAYAH (MI) yang
merupakan penggal pertama pendidikan dasar 9 tahun. Namun, keberhasilan yang
dicapai tersebut masih di hadapkan pada berbagai kendala, antara lain masih
tingginya angka putus sekolah dan angka tinggal kelas. Mutu pendidikan tingkat
SD belum begitu tinggi disamping terdapat keragaman yang luas pada mutu
pendidikan antara sekolah-sekolah yang berada pada lokasi geografis yang
berbeda-beda.
Pada tingkat SLTP, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga minimal berpendidikan SLTP maka pada tanggal 2 Mei 1994 program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di canangkan.
Pada tingkat SLTP, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga minimal berpendidikan SLTP maka pada tanggal 2 Mei 1994 program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di canangkan.
d. Pendidikan
Menengah
Pada jenjang SLTA, selama PJP I
terjadi kenaikaan yang luar biasa pada jumlah siswa, yaitu dari 0,7 juta pada
awal tahun pelita I menjadi 4,1 juta siswa. Persoalan yang menonjol pada SLTA
umum selama pelita V adalah tentang mutu lulusan yang terutama di ukur dari
kesiapan untuk memasuki jenjang pendididkan tinggi. Perbedaan ini mengakibatkan
akses keperguruan tinggi yang memiliki reportasi yang baik, menjadi tidak
merata pula. Dalam kenyataan, hanya sebagian kecil lulusan SMK yang benar-benar
memiliki persiapan untuk kerja. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan SMK
selama ini belum sepenuhnya relevan dengan dunia kerja. Di SMK, tantangan utama
yang diihadapi pelita V adalah peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dengan
kebutuhan pembangunan.
e. Pendidikan
Tinggi
Baik PTN maupun PTS sama-sama menghadapi
tantangan mengenai masih rendahnya proporsi mahasiswa yang mempelajari bidang
teknologi dan MIPA ( Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ), sementara sebagian
besar mahasiswa berada pada jurusan/progam studi ilmu-ilmu sosial dan
pendidikan. Pembangunan nasional banyak memerlukan lulusan bidang MIPA dan
tekologi.
Masih tingginya jumlah mahasiswa
yang lambat dalam menyelesaikan studi merupakan tantangan lain yang dihadapi.
Hai ini menunjukan bahwa efesiensi eksternal atau (relevansi) yang merupakan tantangan
besar. Itulah sebabnya, peningkatan relevansi merupakan prioritas dalam
pengembangan dalam pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia.
f. Pendidikan
Luar Sekolah
Selama pelita V, di perkirakan
sebanyak 5,3 juta warga masyarakat telah dibebaskan dari buta huruf. Hasilnya
adalah semakin menurunnya jumlah masyarakat yang buta huruf.
g. Tantangan
,kendala dan peluang
Ada sejumlah tantangan yang di
hadapi oleh pembangunan pendidikan Indonesia pada masa-masa selanjutnya, yaitu
:
a) Belum
mempunyai pendidikan mengimbangi perubahan struktur ekonomi dari pertanian
tradisional ke indrustri dan jasa,
b) Masih
rendahnya relevansi pendidikan,
c) Masih rendah
dan belum meratanya mutu pendidikan,
d) Masih
tingginya angka putus sekolah dan tinggal kelas yang mengakibatkan ketidakstabilan
dalam penyelenggaraan pendidikan,
e) Masih banyaknya kelompok untuk 10
tahun keatas yang buta huruf,
f) Masih
kurangnya peran serta dunia usaha dalam pendidikan.
g) Ada kendala yang dihadapi dalam
peningkatan kinerja pendidikan nasional, yaitu:
1.
Dari pihak masyarakat, kendala tersebut adalah
kemiskinan dan keterbelakangan yang berkaitan dengan masih rendah nya
penghargaan akan pendidikan pada sebagian kelompok masyarakat,
2.
Terbatasnya jumlah guru yang bermutu disamping
penyebarannya yang tidak merata,
3.
Terbatasnya sarana prasarana, dan Manajemen sistem
pendidikan yang belum secara terarah menuju peningkatan mutu,relevansi,dan
efesiensi pendidikan
h) Adapun
peluang yang dimiliki oleh pendidikan nasional adalah:
1.
Keberhasilan wajib belajar 6 tahun yang memberikan
landasan bagi pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahu
2.
Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya pendidikan ,
3.
Semakin luasnya sarana komunikasi,
4.
Semakin tersebar luasnya lembaga pendidikan negeri
maupun swasta,
5.
Adanya UU no 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional
yang memberikan landasan yang kokoh bagi pendidikan nasional.
Dalam rangka menciptakan sistem
pendidikan nasional yang mantap, berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan
nasional, serta mampu menjawab tantangan masa kin dan masa depan, pendidikan
nasional dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan meberikan prioritas
pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas
tersebut adalah pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang
bersamaan dengan peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pada semua jenis,
jenjang, dan jalur pendidikan.
D. Pendidikan
di Indonesia Dewasa Ini
Dalam rangka menciptakan sistem
pendidikan nasional yang mantap, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata
dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang
strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas tersebut adalah wajib belajar
pendidikan dasar Sembilan tahun bersamaan dengan peningkatan mutu.
a. Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
1). Kualitas
Pendidikan di Indonesia
1. Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal
ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar
pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
2. Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat
merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu
sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia
semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
2). Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana
fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
3). Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun
secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara
umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal,
karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya
meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di
Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila dilihat ratio guru dengan siswa,
angka-angkanya cukup bagus yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12.
Meskipun demikian, dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung
kelemahan yakni pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah
guru, dan di sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam
banyak kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang,
sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi
dengan pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru
yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana,
namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan
disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa lebih dari
separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK. Artinya lebih dari 50
persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi
kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di sekolah harus secara
seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti
kepada anak didik. “Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan
kecerdasan anak didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para
siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan
tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan
dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil
sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
4). Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Dengan
pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS)
agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di
dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas
dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji,
tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang
berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah
khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain
yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta,
masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten
tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen.
5). Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru,
dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development
Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia
secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human
Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki
posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga
saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi
IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement)
di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada
pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5
(Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7
(Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan
dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal
dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara
peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk
IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan
tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia
pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati
peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
6.) Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada
tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka
Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih
rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat
untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
7). Rendahnya
Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut
dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan
yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap
tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan
hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya
ketidakserasian antara hasil pendidikan dan
kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional
terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia
kerja.
8). Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini
sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan
masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak
(TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki
pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa
mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang
ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen
Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai
upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum
jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan
status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang
sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum
Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri
berdampak pada melambungnya biaya pendidikan
di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan
publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan.
Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan
terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan.
Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam
APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU
Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan
Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53
(1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan
berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda
Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor
lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan
tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini
hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara
berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya
rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin
murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa
yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan
dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
Pemerintah untuk cuci tangan.
Pada tanggal 2 Mei 1994 wajib
belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP mulai diprioritaskan. Wajib
belajar pendidikan dasar sembilan tahun mempunyai dua tujuan utama. Pertama,
meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi semua
kelompok umur 7-15 tahun. Kedua, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia
Indonesia hingga mencapai SLTP.
Peningkatan lamanya
wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun memungkinkan peserta didik untuk
lebih lama belajar di sekolah. Hal ini memberikan kesempatan yang lebih banyak
kepada peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan
yang dibutuhkan. Dengan adanya wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun,
maka semua lulusan SD didorong untuk melanjutkan ke SMP. Sasaran-sasaran wajib
belajar pendidikan dasar 9 tahun adalah, pertama, meningkatkan angka
partisipasi tingkat SMP. Kedua, meningkatkan jumlah lulusan SD/MI. Ketiga,
tercapainya jumlah SD yang minimal berkualifikasi DII. Untuk menunjang
tercapainya sasaran, dilakukan penambahan gedung sebanyak 3.000 unit dan 20.000
ruang kelas baru. Tantangan yang dihadapi oleh program wajib belajar pendidikan
dasar sembilan tahun memang lebih berat. Alasannya, pertama, hanya sekitar
separuh dari kelompok umur 13-15 tahun yang berada di sekolah. Kedua, daya
dukung sumber daya berupa dana, sarana dan tenaga yang dimiliki oleh Indonesia
untuk pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Ketiga, guna
menampung anak usia 13-15 tahun di SLTA diperlukan sarana, biaya, dan tenaga.
b. Pelaksanaan Kurikulum
Kurikulum 1994 diberlakukan secara
bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995. Kurikulum 1994 disusun dengan maksud
agar proses pendidikan dapat selalu menyesuaikan diri dengan tantangan yang
terus berkembang, sehingga mutu pendidikan akan semakin meningkat. Menyusul
terjadinya reformasi, dilakukan kembali revisi atas Kurikulum 1994 dengan
menata kembali struktur program yang kemudian dikenal dengan Kurikulum 1994
Yang Disempurnakan.
1)
Kurikulum
1968
Kurikulum
1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan
Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran
bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya
menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut.
Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis,
kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi
intelektualnya saja.
2)
Kurikulum
1975
Kurikulum
1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar
MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran
dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang
dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional
umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat
pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada
kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk
membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar
berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program
belajar mengajar. Setiap tatap muka telah di atur dan dijadwalkan sedari awal.
Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan
bertahap.
3)
Kurikulum
1984
Kurikulum
1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih
penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah
tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan
sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam
pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu.
4)
Kurilukum
1994
Kurikulum
1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya,
terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa
mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai
muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan
lain-lain.
Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga
mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994
menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban
belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk
menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi
c. Pengadaan Buku Pelajaran
Pemerintah menyediakan buku paket
sebagai buku teks pokok yang diadakan secara cuma-cuma kepada semua SD/MI di
seluruh Indonesia, baik negeri maupun swasta. Pengadaan buku paket bertujuan
untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara meningkatkan produksi dan
distribusi buku yang lebih bermutu, menjamin ketersediaannya di kelas serta
pemanfaatannya secara maksimal oleh guru dan siswa. Sementara untuk memenuhi
kebutuhan buku teks pokok untuk SLTP, pemerintah menyediakan buku-buku
tersebut yang diedarkan secara cuma-cuma ke semua sekolah. Pengadaan buku
paket tersebut seluas mungkin mengundang kepedulian semua pihak khususnya
mereka yang berkepentingan terhadap buku. Misalnya, orangtua , guru , kepala
sekolah, pejabat pendidikan. Orangtua harus tau anaknya akan mendapat buku
secara cuma-cuma. Guru dan kepala sekolah harus paham bahwa siswanya akan
mendapat buku untuk setiap mata pelajaran dan buku itu harus digunakan di
sekolah tersebut. Pejabat pendidikan juga harus mengetahui bahwa setiap sekolah
wajib dapat buku baik negeri mau pun swasta.
d. Pembinaan
Mutu Guru
Banyak faktor yang menentukan mutu
pendidikan pada umumnya, yaitu mutu murid sendiri, sarana dan prasarana, dan
juga guru. Mengenai peranan mutu guru, studi Balitbang Dikbud menyimpulkan
bahwa ada korelasi antara tingkat pencapaian siswa dengan penguasaan guru dalam
mata pelajaran, semakin tinggi penguasaan guru terhadap materi pelajaran, makin
tinggi pula prestasi belajar siswa.
Kenyataan yang perlu dicermati
berkaitan dengan guru ialah, pertama, pada SLTP dan SMA terdapat
ketidaksesuaian antara bidang keahlian dengan mata pelajaran yang ditangani.
Hal ini menuntut penanganan, karena akan menghambat peningkatan mutu. Kedua,
rata-rata pendidikan guru masih harus ditingkatkan. Misal persyaratan minimal
untuk guru SD adalah DII, SLTP minimal DIII, SMA minimal S1, dan sebagainya.
Kedua masalah itu harus ditangani
secara serius karena akan berdampak pada mutu pendidikan yang dihasilkan.
Secara umum mutu guru harus ditingkatkan, misal seminar-seminar dan
penataran/pelatihan.
e. Pendidikan
Menengah Umum
Agenda penting Sekolah Menengah Umum
(SMU) adalah meningkatkan daya tampung yang sejalan dengan peningkatan mutu dan
efektivitas program pendidikan di SMU. Dengan demikian semakin tinggi angka
partisipasi pada pendidikan dasar sebagai hasil dari pelaksanaan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilakukan
upaya-upaya peningkatan daya tampung melalui pembangunan unit/gedung baru dan
pembangunan ruang kelas baru. Idealnya semua SMU mampu menghasilkan lulusan
bermutu tinggi yang menjadi masukan/input ke perguruan tinggi. Akan tetapi pada
kenyataannya belum semua SMU mampu menghasilkan lulusan yang bermutu tinggi
karena berbagai keterbatasan.
f. Pendidikan Menengah Kejuruan
Potensi SMK di indonesia sangat
besar yang meliputi 4.092 SMK yang terdiri atas 726 SMK negeri dan 3.366 SMK
swasta. Di SMK usaha-usaha untuk semakin mendekatkan sekolah dengan dunia kerja
dilakukan secara intensif melalui model Pendidikan Sistem ganda (PSG) yang di
mulai pada tahun 1994 PSG di SMK pada dasarnya menganut 2 prinsip :
1. Program
pendidikan kejuruan di SMK merupakan program bersama (joint program) antara
SMK dengan industri yang menjadi mitra sekolah melaksanakan PSG.
2. Program
pendidikan kejuruan SMK dilaksanakan, yaitu sebagian di sekolah untuk teori dan
praktek dasar, dan di industri untuk praktek ketrampilan industri untuk praktek
ketrampilan produktif.
Pelaksanaan PSG di ikuti pula oleh
penataan secara menyeluruh sistem pendidikan di SMK yang meliputi kurikulum,
guru, sarana dan prasarana, dan kepemimpinan sekolah. Untuk lebih meningkatan
peran dunia industri dalam pelaksanaan PSG, telah di bentuk Majelis Pendidikan
Kejuruan ( MPK ) di tingkat nasional, provinsi dan sekolah. Sampai saat ini,
PSG telah berjalan di semua SMK negeri dan SMK swasta dengan kualitas
pelaksanaan yang berbeda
g. Pendidikan Tinggi
Upaya untuk meningkatkan kualifikasi
pendidikan tinggi, dosen disertai dengan pasca sarjana. Pada tahun 1994
sebanyak 22 PTN dan 39 PTS menyelenggarakan program Pascasarjana (S2)
dengan jumlah mahasiswa sekitar 8ribu orang.Jumlah ini diproyeksikan untuk
meningkat hingga mencapai 12 ribu mahasiswa pascasarjana.
Perkembngan lain yang perlu dicatat
ialah berdirinya badan akreditasi Nasional Pergurun Tinggi (BAN-PT) pada tahun
1995 BAN-PT menandai babak baru dalam dunia pendidikan tinggi indonesia
tugasnya ialah melakukan penilaian berkala terhadap perguruan tinggi yang
meliputi kurikulum,mutu dan jumlah tenaga kependidikan,keadaan
mahasiswa,pelaksanaan pendidikan ,sarana dan prasarana,kepegawaian,keuangan dan
kerumah tanggaan.Berdasarkan hasil penilaian teressebut ditetapkan lah status
akreditasi program study di perguruaan tinggi.Sebagai suatu badan yang
independen,BAN-PT memikul tugas yang tidak ringan karena harus melakukan
penilaian secara berkala dan berkesinambungan terhadap semu PT baik PTN maupun
PTS
h. Agenda
Agenda Ke Depan
Memasuki pergantian abad,yaitudari
abad ke 20 ke abad 21 yang dikenal dengan milenium ke 3,pendidikan Indonesia
dihadapkan padatantangan tantangan yang berat dalam rangka menyiapkan sumber
daya manusia yang bermutu.Dengan bertolak dari kemajuan kemajuan yang telah di
capai sebelumnya,yang dikemukakan beberapa agenda pembangunan pendidikan di
Indonesia untuk saat ini dan masa depan.
1. Penuntasan
program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dengan cara :
Ø Menambah
jumlah gedung dan ruang kelas baru yang didekatkan dengan tempat tinggal.
Ø Memperkuat
kelembagaan SLTP swasta agar pencapaian sasaran wajib belajar lebih meningkat
Ø Memperluas
jangkauan SLTP terbuka melalui pembukaan SLTP SLTP terbuka baru dan menambah
tempat kegiatan belajar (TKB)dan kejar paket B
Ø Meningkatkan
peran serta masyarakat dan kesadaran orangtua dalam pelaksaan wajib belajar
2. Peningkatan
daya tampung SLTA (SMU dan SMK) dan Perguruan Tinggi dengan dilaksanakannya
wajib belajar9 tahun, maka jumlah lulusan SLTP akan semakin meningkat yang akan
meumbuhkan kebutuhan yang lebih besar terhadap tersedianya pendidikan ke SLTA.
Hal yang sama berlakunpada perguruan tinggi daya tampung perguruan tinggi
khususnya PTN perlu terus dipacu untuk meningkatkan mutu dan relevansi
pendidikan.
3. Peningkatan
mutu dan relevansi pendidikan pada semua jalur perlu terus dilanjutkan
mengingat tuntutan sektor-sektor pembangunan dan masyarakat terhadap pendidikan
yang bermutu semakin besar dengan metode pengajaran yang perlu di tingkatkan
engan cara peniingkatan mutu guru perlu ditangani secara lebih intensif dan
pengelolaan sumber daya pendidikan yang tersedia lebih baik lagi.
4. Pemanfaatan
sumberdaya pendidikan yang jumlahnya terbatas perlu dilanjutkan sehingga
benar-benar dapat memberikan hasil yang maksimal terhadap pemerataan
kesempatan, peningkatan mutu.
5. Pelaksanaan
desentralisai pendidikan sejalan dengan undang-undang No.22/1999 tantang
pemerintahan daerah akan membawa implikai yang lua pada model dan pola
managemen pendidikan. Managemen pendidikan yang selama ini cenderung di ubah
menjadi desentralistik dengan cara menyerahkan sebagian besar penanganan
program-program pendidikan.
i. Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah,
seperti rendahnya kualitas sarana fisik, rendahnya kualitas guru, dan lain-lain
seperti yang telah dijelaskan diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
1. Solusi
sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui
sistem pendidikan sangat berkaitan dengan
sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan
di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
2. Solusi
teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk
menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis
dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan
kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat
peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan
sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi
tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia
dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan
generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan
bermartabat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
“Knowledge is power”.
Kutipan dari Francis Bacon tersebut mengungkapkan bahwa pokok kekuatan menusia
adalah pengetahuan. Manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta
sehingga manusia mampu bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang.
Proses tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan
pendidikan. Pendidikan adalah sebuah kegiatan perbaikan tata laku dan
pendewasaan manusia melalui pengetahuan.
Pendidikan juga tidak
dapat dilepaskan dari perjalanan sebuah bangsa. Keduanya saling memengaruhi.
Kemajuan sebuah bangsa juga ditentukan dari kemajuan pendidikan yang dienyam
rakyatnya. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Pendidikan di Indonesia
juga telah mengalami berbagai fase perjalanan hingga seperti sekarang. Buku ini
memaparkan sejarah pendidikan di Indonesia, dari zaman kerajaan Hindu-Buddha,
kerajaan Islam, penjajahan, masa sesudah kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru,
hingga Orde Reformasi.
Sejarah pendidikan di Indonesia juga
melalui tahap-tahap dan dari zaman ke zaman yang mempunyai pendiri serta
kurikulum yang berbeda-beda. Yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Pendidikan
di Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Pendidikan diindonesia padazaman
sebelum kemerdekaan dapat digolongkan kedalam tiga periode, yaitu: 1)
pendidikan yang berlandaskan ajaran keagamaan; 2) pendidikan yang berlandaskan
kepentingan penjajah; dan 3) pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan.
Yang terdiri dari :
1. Pendidikan
Hindu-Budha
2. Pendidikan
Islam
3. Pendidikan
Katolik dan Kristen-Protestan
4. Pendidikan pada Zaman VOC
5. Pendidikan Pada Zaman Kolonial
Belanda
6. Pendidikan
Pada Masa Pendudukan Jepang
b. Perintis
Perguruan Pertama Kali di Indonesia
Ada empat perguruan yang secara
kronologis pertama berdiri di Indonesia. Yaitu, Muhammadiyah, Taman Siswa,
Ma’arif, dan INS Kayutanam. Keempatnya dibicarakan disini karena sama-sama
merupakan tanggapan bangsa Indonesia terhadap keadaan pada masa penjajahan.
Meskipun masing-masing lembaga pendidikan tersebut berdiri dengan dasar dan tujuan
yang berbeda-beda, namun misi dan sifat pedagogis, nasional, politis,
keagamaan, atau kombinasi nasional-pedagogis, nasional-religius, atau
nasional-politis. Dari keempat perguruan tersebut, yang masih giat
menyelenggarakan pendidikan dengan jangkauan yang luas di Tanah Air adalah
Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Ma’arif. Sedangkan INS Kayutanam telah hancur
secara fisik pada tahun 1949.
c. Pendidikan
di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969)
Pendidikan dan pengajaran sampai
tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor pengajaran yang terkenal dengan nama
jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan bagian dari kantor penyelenggara urusan
pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Setelah di proklamasikannya
kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar
Dewantara, pendiri taman siswa, sebagai menteri pendidikan dan pengajaran mulai
19 Agustus sampai 14 November 1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia
dari tanggal 14 November 1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian
Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai
dengan 2 Oktober 1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada
dasarnya tidak bayak yang dapat diperbuat oleh para menteri tersebut.
d. Kondisi pendidikan pada PJP 1
Pembangunan jangka panjang pertama,
meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai pada tahun 1969/1970 hingga
tahun 1993/1994 atau 25 tahun. Selama kurun tersebut, pendidikan Indonesia
mengalami banyak bahan dan kemajuan . Yaitu sebagai berikut :
1.
UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional
2.
Taman Kanak-Kanak
3.
Pendidikan
Dasar
4.
Pendidikan Menengah
5.
Pendidikan Tinggi
6.
Pendidikan Luar Sekolah
7.
Tantangan ,kendala dan peluang
e. Pendidikan
di Indonesia Dewasa Ini
Dalam rangka menciptakan sistem
pendidikan nasional yang mantap, pendidikan nasional dewasa ini terus ditata
dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada aspek-aspek yang dipandang
strategis bagi masa depan bangsa. Prioritas tersebut adalah wajib belajar
pendidikan dasar Sembilan tahun bersamaan dengan peningkatan mutu. Selain itu
upaya yang dilakukan pemerintah agar memajukan perkembangan pendidikan di
Indonesia adalah sebagai berikut .
1. Pelaksanaan
Kurikulum 1994
2. Pengadaan
Buku Pelajaran
3. Pembinaan Mutu
Guru
4. Pendidikan
Menengah Umum
5. Pendidikan
Menengah Kejuruan
6. Pendidikan
Tinggi
7. Agenda
Agenda Ke Depan
E. Pendidikan
Karakter
Karakter adalah
jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama,budaya,danadatistiadat. Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil.
Dalam pendidikan karakter di
sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran
dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaansarana,prasarana,dan,pembiayaan,dan,ethoskerjaseluruhwargadanlingkungansekolah.
“Pendidikan karakter yang utuh dan
menyeluruh tidak sekedar membentuk anak-anak muda menjadi pribadi yang cerdas
dan baik, melainkan juga membentuk mereka menjadi pelaku baik bagi perubahan
dalam hidupnya sendiri, yang pada gilirannya akan menyumbangkan perubahan dalam
tatanan sosial kemasyarakatan menjadi lebih adil, baik, dan manusiawi.”(Doni
Koesoema A.Ed)
1. Beda
Karakter dan Kepribadian.
Kepribadian adalah hadiah dari Tuhan Sang
Pencipta saat manusia dilahirkan dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan
kelebihannya di aspek kehidupan sosial dan masing-masing pribadi. Kepribadian manusia secara umum ada 4, yaitu :
1. Koleris : tipe ini bercirikan pribadi yang
suka kemandirian, tegas, berapi-api, suka tantangan, bos atas dirinya sendiri.
2. Sanguinis : tipe ini bercirikan suka dengan
hal praktis, happy dan ceria selalu, suka kejutan, suka sekali dengan kegiatan
social dan bersenang-senang.
3. Phlegmatis : tipe ini bercirikan suka
bekerjasama, menghindari konflik, tidak suka perubahan mendadak, teman bicara
yang enak, menyukai hal yang pasti.
4. Melankolis : tipe ini bercirikan suka dengan
hal detil, menyimpan kemarahan, Perfection, suka instruksi yang jelas, kegiatan
rutin sangat disukai.
Saat setiap manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta
memunculkan kebiasaan positif yang baru, inilah yang disebut dengan Karakter. Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin yang sangat suka bercanda
dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius
dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus, itulah Karakter. Pendidikan Karakter adalah pemberian pandangan
mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan lain-lainnya. Dan itu
adalah pilihan dari masing-masing individu yang perlu dikembangkan dan perlu di
bina, sejak usia dini (idealnya).
Karakter tidak bisa diwariskan,
karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Karakter harus
dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang tidak instan. Karakter bukanlah
sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik
jari.Banyak kami perhatikan bahwa orang-orang dengan karakter buruk cenderung
mempersalahkan keadaan mereka. Mereka sering menyatakan bahwa cara mereka
dibesarkan yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi
lainnya yang menjadikan mereka seperti sekarang ini. Memang benar bahwa dalam
kehidupan, kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali kita, namun
karakter Anda tidaklah demikian. Karakter Anda selalu merupakan hasil pilihan
Anda.Ketahuilah bahwa Anda mempunyai potensi untuk menjadi seorang pribadi yang
berkarakter, upayakanlah itu. Karakter, lebih dari apapun dan akan menjadikan
Anda seorang pribadi yang memiliki nilai tambah. Karakter akan melindungi segala sesuatu yang Anda hargai dalam
kehidupan ini.Setiap orang bertanggung jawab atas karakternya. Anda memiliki
kontrol penuh atas karakter Anda, artinya Anda tidak dapat menyalahkan orang
lain atas karakter Anda yang buruk karena Anda yang bertanggung jawab penuh.
Mengembangkan karakter adalah tanggung jawab pribadi Anda.
2. Contoh Program Pendidikan karakter.
a. Lingkungan Sekolah:
Ø Training
Guru
Terkait dengan program pendidikan karakter disekolah,
bagaimana menjalankan dan melaksanakan pendidikan karakter disekolah,
serta bagaimana cara menyusun program dan melaksanakannya, dari gagasan ke
tindakan.
Program ini membekali dan memberikan wawasan pada guru tentang psikologi anak, cara mendidik anak dengan memahami mekanisme
pikiran anak dan 3 faktor kunci untuk menciptakan anak sukses, serta kiat
praktis dalam memahami dan mengatasi anak yang “bermasalah” dengan perilakunya.
Ø Program
Bimbingan Mental
Program ini terbagi menjadi dua sesi program :
Sesi Workshop Therapy, yang
dirancang khusus untuk siswa usia 12 -18 tahun. Workshop ini bertujuan mengubah
serta membimbing mental anak usia remaja. Workshop ini bekerja sebagai “mesin
perubahan instant” maksudnya setelah mengikuti program ini anak didik akan
berubah seketika menjadi anak yang lebih positif.
Sesi Seminar Khusus Orangtua Siswa, membantu
orangtua mengenali anaknya dan memperlakukan anak dengan lebih baik, agar anak
lebih sukses dalam kehidupannya. Dalam seminar ini orangtua akan mempelajari
pengetahuan dasar yang sangat bagus untuk mempelajari berbagai teori psikologi
anak dan keluarga. Memahami konsep menangani anak di rumah dan di sekolah, serta lebih mudah mengerti dan
memahami jalan pikiran anak, pasangan dan orang lain.
3. Lingkungan Keluarga:
1) Membangun
Karakter Anak Sejak Usia Dini.
Karakter akan
terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia
(triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri
(intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan
sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Setiap
hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya
menjadi nilai dan
keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan
cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada
perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya
dengan positif. Untuk itu, Tumbuhkan
pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini, salah satunya dengan
cara memberikan kepercayaan pada anak untuk
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, membantu anak mengarahkan potensinya
dengan begitu mereka lebih mampu untuk bereksplorasi dengan sendirinya, tidak
menekannya baik secara langsung atau secara halus, dan seterusnya.
Biasakan
anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Ingat pilihan terhadap lingkungan sangat
menentukan pembentukan karakter anak. Seperti kata pepatah bergaul dengan penjual
minyak wangi akan ikut wangi, bergaul dengan penjual ikan akan ikut amis.
Seperti itulah, lingkungan baik dan
sehat akan menumbuhkan karakter sehat dan
baik, begitu pula sebaliknya. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah membangun hubungan spiritual dengan Tuhan
Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan YME terbangun melalui
pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual yang terimplementasi pada kehidupan
sosial.
4. Pendidikan
Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa.
Dunia pendidikan diharapkan sebagai
motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota
masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis
dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi
kesepakatan bersama. "Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga
tidak penting, ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat
penting” karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak
seseorang itu ”bertutur kata dan bertindak”. Simak, telaah, dan renungkan dalam
hati apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan peluang bagi peserta
didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-sikap: kejujuran,
integritas, komitmen,kedisipilinan,visioner,dankemandirian.Sejarah memberikan
pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran
pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan.
Melalui perdebatan tersebut kita
banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini
dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa
mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di
dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi
persoalan bagi mereka.
Karena itu pendidikan karakter harus
digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945.
Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda”
menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk
berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka
dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu
kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme
tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui
arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan,budayabangsa “Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka. (MuktionoWaspodo)
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan,budayabangsa “Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka. (MuktionoWaspodo)
5. Pendidikan Karakter yang Berhasil.
Keberhasilan program pendidikan
karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik
sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain
meliputisebagaiberikut:
1) Mengamalkan
ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja.
2) Memahami
kekurangan dan kelebihan dirisendiri.
3) Mematuhi
aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.
4) Menghargai
keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup
nasional.
5) .Menunjukkan
sikap percaya diri.
6) Mencari dan
menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis,dankreatif.
7) Menunjukkan
kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif.
8) Menunjukkan
kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
9) Menunjukkan
kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
10) Mendeskripsikan
gejala alam dan social.
11) Memanfaatkan
lingkungan secara bertanggungjawab.
12) Menerapkan
nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
demi terwujudnya persatuan dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.
13) Menghargai
karyaseni dan budayanasional.
14) Menghargai
tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya.
15) Menerapkan
hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik.
16) Berkomunikasi
dan berinteraksi secara efektif dansantun.
17) Memahami hak
dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat
18) Menghargai
adanyaperbedaanpendapat.
19) Menunjukkan
kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana.
20) Menunjukkan
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa IndonesiadanbahasaInggrissederhana.
21) Menguasai
pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah.
22) Memilikijiwakewirausahaan.
23) Menunjukkan
sikap percaya diri.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan
karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan
keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan
masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru,
rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan,
rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan
kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang
menjadi masalah mendasar dari pendidikan di
Indonesia adalah sistem pendidikan di
Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia
yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi
kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah
dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan
di Indonesia.
B. Saran
Permasalahan pendidikan di Indonesia
masa kini sesungguhnya sangat kompleks. yaitu permasalahan eksternal dan
internal. Masalah system kelemahan (dialisme dikotomi), profesionalisme guru,
dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman terhadap sejumlah permasalahan
dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai permasalahan pendidikan yang
komplek itu, baik eksternal maupun internal adalah saling terkait. Hal ini
tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan
pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial; yang merupakan pendekatan
terpadu.
Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di
atas yang belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh
tanggung jawab. Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa
berharap pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era
globalisasi dewasa ini.
Daftar
Pustaka
Haryatmoko, “Menuju Orientasi Pendidikan Humanis dan Kritis”, dalam
bukuMenemukan Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan, (Jakarta: Departemen
Komunikasi dan Informatika, 2008), hlm. 67.
Rianti Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi,
(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.15-16
Ibid, 2008, hlm. 16.
Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan
Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 1997), hlm 49-50.
Ibid, 1997, hlm 53-58.
Somarsono Moestoko. 1986. Sejarah Pendidikan dari jaman kejaman. Balai
pustaka. Jakarta. Hal 145
Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah
Pendidikan Di Zindonesia zaman kemerdekaan (1945-1950). Depdikbud. Jakarta. Hal
11.
Somarsono Moestoko. 1986. Sejarah Pendidikan dari jaman kejaman. Balai
pustaka. Jakarta. Hal 148
Ibid hal 17
Op cit hal162
Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz,
2009), hlm. 87
Ibid, 2009, hlm. 92.
Idem.
M.C. Riklefs. 200. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. PT Serambi Ilmu
Semesta. Hal 473-474.
Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Zindonesia zaman kemerdekaan
(1945-1950). Depdikbud. Jakarta. Hal
Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Zindonesia zaman kemerdekaan
(1945-1950). Depdikbud. Jakarta. Hal
Sumarsono, Moestoko. 1986. Pendidikan Indonesia dari jaman ke jaman. Balai
Pustaka: Jakarta
Helius Sjamsuddin. 1993. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Zaman Kemerdekaan
(1945-1950).Departeman Pendidikan Dan Kebudayan: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar